Ambon (ANTARA News) - Johan Teterisa Alis Jhon alias Yoyo (46), yang menjadi kordinator penari cakalele dan membentangkan bendera organisasi terlarang Republik Maluku Selatan (RMS) saat peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas), di Ambon, 29 Juni 2007 lalu, divonis hukuman seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Ambon, dalam persidangan yang berlangsung, Kamis.
Majelis Hakim PN Ambon yang diketuai Raden Anton SH, dalam persidangan menganggap hukuman seumur hidup pantas diberikan kepada terdakwa karena terbukti melakukan tindak pidana makar dan ingin memisahkan sebagian atau seluruh wilayah provinsi Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berdasarkan fakta-fakta selama persidangan terutama kesaksian tersangka lain diantaranya, Josias Sinay selaku pelatih tarian cakalele, Samual Hendriks, dan Ketua Divisi Pertahanan Keamanan RMS Ferdinan Waas, semuanya membenarkan bahwa terdakwa sudah menjadi simpatisan organisasi itu sejak tahun 2002, dan memegang jabatan sebagai perwakilan RMS Desa Aboru, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah.
Fakta di persidangan juga membuktikan keterlibatan terdakwa mempersiapkan tarian cakalale yang dibawakan oleh 28 orang penari dari Desa Aboru. Antara lain menyelenggarakan beberapa kali pertemuan di rumahnya di Desa Aboru, dan terakhir pada 24 juni 2007, terdakwa menyelenggarakan pertemuan di rumahnya untuk membicarakan perlengkapan tarian berupa tombak kayu, parang kayu, tahuri (kulit kerang-red), tifa serta bendera RMS.
Sementara untuk pelatih tarian adat orang Maluku itu, terdakwa menunjuk Josias Sinay.
Kemudian pada pada 27 Juni 2007 terdakwa kembali mengadakan pertemuan di rumah Ferdinaan Waas. Pertemuan kali ini membicarakan strategi agar kelompok penari bisa memasuki kawasan perayaan Harganas yang dipusatkan di lapangan Merdeka, kecamatan Sirimau, Kota Ambon.
Menurut pengakuan terdakwa, perintah untuk membawakan tarian cakalele dan memperlihatkan bendera organisasi terlarang itu, bersumber dari Simon Saiya selaku Presiden Transisi RMS, dengan maksud menujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta para tamu negara sahabat yang menghadiri Harganas, bahwa RMS masih eksis sekaligus meminta Kedaulatan gerakan yang pernah diperjuangkan sejak tahun 1950 itu.
Dari uraian fakta itu, Majelis Hakim berkesimpulan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana makar sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 110 jo 106 KUHP.
Selain itu tidak ditemukan satupun alasan memaafkan bagi pria yang berprofesi sebagai Guru SD Di desa Aboru ini, karena terdakwa juga pernah dihukum atas perkara yang sama di tahun 2003.
Menurut majelis hakim hal yang memberatkan yakni terdakwa tidak menyesali perbuatannya yang berdampak mempermalukan bangsa Indonesia dan masyarakat Maluku di mata Internasional dan perbuatannya dianggap sebagai tindakan separatis yang mengancam disintegrasi bangsa.
Seusai mendengar putusan majelis hakim itu, terdakwa yang berusia 46 tahun dan didampingi Kuasa Hukumnya, Tomas Watimury, SH menyatakan menerima dan tidak akan mengajukan banding terhadap putusan Majelis Hakim PN Ambon itu yang lebih berat dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ester Wattimurry, SH yakni 15 tahun penjara.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008