Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia, Rizal Ramli, menilai pemerintah selama 40 tahun terakhir ini cenderung mengutamakan pengusaha besar dengan pemberian berbagai fasilitas. Sebaliknya kebijakan yang dibuat justru cenderung meminggirkan dan memiskinkan usaha kecil menengah (UKM). Padahal, tidak kurang dari 60 juta rakyat yang bergantung pada sektor itu, demikian siaran pers KBI yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis. Rizal Ramli yang berbicara pada Dialog Publik bertema "Revitalisasi Peran Industri dan UKM dalam Perekonomian Nasional" di Pati, Jawa Tengah, itu mengibaratkan kebijakan ekonomi pemerintah seperti gelas anggur (wine). "Besar di atas dan penuh dengan isi, kecil di tengah tanpa isi, dan lebar di bawah tanpa juga isi," katanya. Rizal melihat, pemerintah cenderung membanjiri para pelaku bisnis skala besar dengan berbagai fasilitas dan proteksi. Sedangkan di jenjang menengah, kompetisi sangat ketat dan di bagian bawah, masyarakat serta UKM dipaksa "mensubsidi" pengusaha di atasnya. "Seharusnya seperti di Jepang dan Korea Selatan, pemerintah menciptakan iklim kompetisi yang ketat di level atas. Dengan begitu pengusaha besar di sana sangat efisien dan mampu bersaing di dunia internasional," katanya. Para pengusaha besar itu mencari untung di luar negeri dan selanjutnya memasukkan devisa untuk membangun di dalam negeri. Sementara konglomerat Indonesia justru sebaliknya, menghisap kapital dari dalam negeri dan melempar keuntungannya untuk berinvestasi di luar negeri.Tiga cara Rizal Ramli yang juga mantan Menko Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengatakan, ada tiga cara yang bisa menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap UKM. Pertama, tingkatkan batas minimum penghasilan kena pajak sehingga dengan demikian, akselerasi modal UKM bisa lebih cepat dan mereka bisa naik kelas. Kedua, memberikan UKM bantuan teknis dan pemasaran serta ketiga, memberi akses kredit seluas-luasnya. "Bankir harus meninggalkan paradigma agunan. Jadikan kelayakan usaha dan rekam jejak cicilan kredit sebagai acuan utama pengucuran kredit," katanya. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008