Jakarta (ANTARA News) - Bank Dunia menawarkan dana pinjaman berbunga ringan sebesar 5 miliar dolar Amerika Serikat kepada negara-negara berkembang untuk pembiayaan program adaptasi perubahan iklim. Pengumuman Dana Investasi Iklim itu disampaikan oleh Bank Dunia pada hari kedua sidang yang membahas kerangka kerjasama menangani perubahan iklim, yang digelar di Bangkok, Selasa (1/4). Harian Bangkok Post versi on-line, Rabu, menyebutkan, Direktur Bidang Lingkungan Hidup Bank Dunia, Warren Evans, mengatakan inisiatif ini merupakan bagian dari skema bantuan tiga tahun yang memberikan pinjaman bersuku bunga rendah untuk program-program terkait perubahan iklim. Ia merinci program-program yang bisa dibiayai dengan pinjaman Bank Dunia ini antara lain pengembangan teknologi bersih, adaptasi perubahan iklim, serta pengelolaan hutan yang berkesinambungan di negara-negara berkembang. Sementara itu, lanjut Evans, negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris telah berjanji mengalokasikan dananya kepada Bank Dunia untuk program Dana Investasi Iklim ini. "Kami menargetkan pengumpulan dana hingga lebih dari 5 miliar dolar," katanya. Dana itu, kata Evans, akan dikelola dengan mekanisme alokasi yang didisain oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan LSM. Bank Dunia juga menargetkan pembahasan tentang sumber dana dari para donor dapat rampung semuanya dalam sidang menteri-menteri lingkungan hidup kelompok negara kaya G8, di Tokyo, Juni. Evans menambahkan skema bantuan pinjaman ini juga akan disetujui oleh dewan eksekutif Bank Dunia pada kisaran bulan Juni.Tanggapan skeptis LSM Di sisi yang lain, para aktivis lingkungan hidup memandang program pinjaman Bank Dunia ini secara skeptis. Mereka menyebut bantuan pinjaman berbunga ringan itu tumpang tindih dengan dana adaptasi perubahan iklim yang sedang dirancang oleh UNFCCC (Konvensi Kerjasama Perubahan Iklim PBB). Dana adaptasi UNFCCC juga bertujuan membantu keuangan negara-negara berkembang dalam hal pembiayaan program-program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Uang yang dikelola oleh UNFCCC ini bersumber dari berbagai proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), yang diatur dalam Protokol Kyoto, dan diperkirakan bisa terkumpul hingga 500 juta dolar pada tahun 2012. Namun, muncul pula kekhawatiran dana adaptasi ini tidak akan maksimal meraih targetnya sebagai bantuan finansial mengatasi fenomena berubahnya iklim global. Antonio Hill, pegiat senior dari Oxfam, mengatakan skema bantuan Bank Dunia ini akan "melumpuhkan" Rencana Aksi Bali tentang dana adaptasi. Menurut dia, seharusnya dana disediakan sebagai hibah bukan pinjaman, sebab negara-negara berkembang sudah tersiksa sedemikian rupa akibat dampak perubahan iklim yang ditimbulkan oleh emisi gas rumah kaca negara-negara kaya. "Skema Bank Dunia ini seperti Anda mengendarai mobil lalu menabrak rumah orang lain sampai rusak berat, tapi lantas Anda menawarkan pinjaman uang kepada si pemilik rumah untuk memperbaiki rumahnya yang rusak itu," katanya. Namun opini berbeda disampaikan oleh Evans, karena menurut dia dana pinjaman dari Bank Dunia tidak akan menghapus kerangka bantuan adaptasi UNFCCC. "Kalau kami mendapati unsur tumpang tindih, tentu kami akan hindari. Tapi dalam kasus ini kami tidak menemui unsur tumpang tindih," kata Evans. Jika bantuan dana adaptasi dari UNFCCC selama ini dirasa sangat rumit dan lambat untuk diperoleh, pinjaman dari Bank Dunia ini diperkirakan akan lebih mudah aksesnya. Evans menyebutkan negara-negara donor akan menyetorkan mayoritas dana, sementara negara berkembang dan LSM akan diundang untuk ikut merancang formula serta pola pengelolaan dana tersebut. Sidang di Bangkok dihadiri oleh sekitar 1.200 delegasi dari 163 negara di seluruh dunia. Mereka berkumpul sejak 31 Maret hingga 4 April, menggagas kerangka pakta kerjasama internasional yang baru, menggantikan Protokol Kyoto yang habis periode pertamanya pada tahun 2012. Dalam Protokol Kyoto, 34 negara kaya diwajibkan menurunkan emisi gas rumah kaca mereka hingga 5 persen dari angka emisi tahun 1990 pada tahun 2012. (*)
Copyright © ANTARA 2008