Sekarang buat rambu-rambu atau aturan tambahan seperti Permendagri, atau Undang-undang Otonomi Daerah yang harus di revisi

Jakarta (ANTARA) - Beberapa minggu belakang publik dihebohkan dengan perselisihan Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tentang lahan, dan sikap Gubernur Kalimantan Timur yang tidak mau melantik sekretaris daerah, padahal sang sekda sudah ditetapkan melalui surat keputusan presiden.

Kedua persoalan tersebut telah diselesaikan minggu lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengambil alih pelantikan sekda, dan Pemerintahan Kota Tangerang mencapai jalan sepakat dengan Kemenkumham melalui mediasi.

Mungkin kedua permasalahan itu sudah klir, namun tetap saja meninggalkan bekas bagaimana daerah seakan dengan mudahnya "menentang" pemerintah pusat.

Daerah belakangan ini seolah bisa memilih jalan masing-masing tak peduli itu berbeda dengan pemerintah pusat, oleh karena memiliki otonomi kuasa pemerintahan sendiri.

Konsep otonomi daerah mulai digulirkan pada awal reformasi, pascaamendemen Undang-undang Dasar 1945 dan diselesaikan pada 2002.

Otonomi memang memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mandiri mengurus diri, namun dari sana juga tampak muncul persoalan-persoalan otonomi yang kebablasan.

Pemerintah daerah seakan-akan jadi raja-raja kecil yang memiliki kuasa berlebih dari otonomi dan seperti tidak bisa diintervensi pusat.

"Ini yang menjadi persoalan, karena otonomi ini mereka daerah, menganggap bisa melakukan apa pun, padahal tidak bisa seperti itu," kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin.

Sebab, Indonesia bukanlah negara federal atau persemakmuran yang masing-masing memiliki kekuasaan sendiri sehingga bisa berbuat sesuka hati, otonomi hanya memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mandiri, sementara pemda tetaplah menjadi bagian tak terpisahkan dari pemerintahan pusat.

"Kita adalah NKRI, jadi tetap regulasi dan aturannya terkait juga terhubung pemerintah pusat," kata dia.

Kemunculan raja-raja kecil otonomi daerah itu dampak dari ketidaktahuan kepala daerah terhadap aturan dan cara bersikap dalam birokrasi.

Hal tersebut karena setiap kepala daerah yang terpilih dari pemilu belum tentu berupa figur yang benar-benar memiliki kompetensi. Pemilu membuka peluang bagi siapapun bisa terpilih jadi kepala daerah, bahkan untuk orang yang tak memiliki kecakapan sekali pun.

"Ada mereka tidak punya bekal dalam leadership, sebab, bisa jadi mereka terpilih pemilu hanya karena ingin jadi kepala daerah dan karena kaya," ujar Ujang Komaruddin.

Melihat kondisi belakangan, ada dua persoalan penting yang harus segera dibenahi, yang pertama Kementerian Dalam Negeri perlu melakukan pembinaan lebih terhadap kepala daerah soal hubungan komunikasi, kepemimpinan dan aturan. Kedua, sudah saatnya bagi pemerintah pusat mengkaji ulang undang-undang otonomi daerah.

Membangkang dan tidak etis

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sempat mengingatkan Gubernur Kalimantan Timur, sebab tidak mau mengikuti mekanisme penetapan pemilihan sekretaris daerah.

Menteri Tjahjo ketika itu menganggap sikap Gubernur Kaltim merupakan sebuah pembangkangan, diksi tersebut dipilih karena gubernur bahkan mengabaikan surat keputusan presiden yang telah memilih satu dari tiga nama calon sekda yang diajukan.

"Yang penting kita lantik, kami mengamankan keppres bapak presiden, ini maruah kehormatan pemerintah pusat," ujar Tjahjo ketika itu.

Menteri Tjahjo Kumolo mengatakan baru kali ini dalam sejarah gubernur tidak mau melantik sekretaris daerah tanpa ada dasar yang jelas.

Setelah terbitnya keputusan presiden untuk Sekretaris Daerah Kalimantan Timur atas nama Abdullah Sani, Gubernur Kaltim ternyata tak kunjung melantiknya.

Kemendagri pun tiga kali melayangkan surat, mempertanyakan alasan dari sikap Gubernur Kaltim tidak melantik sekda yang telah ditetapkan.

Surat dari Kemendagri tidak direspon Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, malah gubernur meminta agar Kemendagri mengubah keppres dengan nama sekda sesuai keinginan.

"Lah ya tidak bisa, sudah sidang dan presiden sudah tanda tangani. Saya harus menjaga wibawa dan harga diri presiden," ucap Tjahjo.

Sedangkan melihat perseteruan Wali Kota Tangerang dengan Kementerian Hukum dan HAM, Menteri Tjahjo menilai cara-cara yang dilakukan oleh Wali Kota Arief kurang etis dan tidak elok.

Arief memutuskan tidak akan memberikan pelayanan di atas lahan milik Kemenkumham, tepatnya perkantoran di Kompleks Kehakiman dan Pengayoman, Tangerang.

Pelayanan tersebut termasuk penerangan jalan umum, perbaikan drainase, dan pengangkutan sampah karena Arief keberatan dengan pernyataan Yasonna yang menyebut Pemkot Tangerang, Banten, menghambat perizinan di lahan Kemenkumham.

"Kalau ada 'miskomunikasi' kenapa harus airnya dimatikan? Kenapa harus listriknya dimatikan? Kan kurang elok, gitu aja," tambah Tjahjo.

Kemudian, menanggapi perselisihan tersebut, pada 18 Juli 2019 Kemendagri mencoba memediasi Kemenkumham dan Pemerintah Kota Tangerang untuk mencari kata sepakat.

Setelah duduk bersama, keduanya bersepakat sama-sama akan mencabut berkas laporan pascamediasi. Tidak hanya menarik pengaduan saja, Pemerintah Kota Tangerang juga sepakat memulihkan pelayanan publik yang sempat tersendat.

Terkait perizinan dan tata ruang yang menjadi akar persoalan, kedua belah pihak pun segera akan menyelesaikannya dengan difasilitasi Pemprov Banten.

Gubernur Banten Wahidin Halim mengatakan persoalan di antara Pemerintah Kota Tangerang dengan Kementerian Hukum dan HAM terjadi hanya karena perbedaan persepsi.

"Dalam tiga hari ke depan akan kita bangun kesepakatan-kesepakatan, kita mulai dengan saling memperbaiki dan menyempurnakan tata ruang," ujarnya usai mediasi.

Revisi undang-undang otonomi daerah

Melihat berbagai persoalan yang terjadi, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin lebih menyarankan ada aturan yang komprehensif agar pemerintah daerah tidak kebablasan menginterpretasikan otonomi daerah.

"Sekarang buat rambu-rambu atau aturan tambahan seperti Permendagri, atau Undang-undang Otonomi Daerah yang harus di revisi," kata dia.

Revisi ini nantinya lebih mengikat kepala daerah agar tetap pada jalurnya, sebagai bagian tak terpisahkan pemerintah pusat.

Hal itu dianggap perlu, karena kepala daerah dipilih secara demokratis melalui pemilu, dan dari pemilihannya tersebut siapa saja bisa terpilih.

"Bisa yang terpilih orang tak memiliki kemampuan, tapi ada juga memiliki kemampuan tapi memiliki sifat yang kurang baik dalam birokrasi, atau juga yang terpilih dari parpol yang bukan koalisi," tutur dia.

Oleh karena itu, Undang-undang Otonomi Daerah harus lebih komprehensif lagi mengatur batasan-batasan pemerintah daerah, khususnya sisi-sisi yang kewenangannya luas.

"Harus ada rambu-rambu lebih seragam yang membuat daerah-daerah lebih bagus, pasti daerah mau dan kalau ada aturan mereka juga tidak akan macam-macam," ujar Ujang Komaruddin.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019