Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Industri Kakao Indonesia mengusulkan agar pemerintah menerapkan pungutan ekspor (PE) biji kakao sebesar 50 dolar AS per ton untuk memperkuat daya saing kakao olahan Indonesia di pasar internasional. "Saat ini negara-negara pembuat produk hilir kakao membebaskan bea masuk (BM) biji kakao, tapi mengenakan BM untuk produk olahannya seperti mentega dan bubuk kakao (cocoa butter dan cocoa butter)," kata Ketua AIKI Pieter Jasman kepada ANTARA News, di Jakarta, Senin. Ia mengatakan, untuk mengimbangi persaingan kakao olahan di negara tujuan ekspor utama seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) maka pemerintah perlu menerapkan PE agar daya saing kakao olahan Indonesia menguat. Pieter menjelaskan, saat ini permintaan kakao olahan terutama mentega kakao sangat besar di Eropa. Namun, Eropa menerapkan BM mentega kakao sebesar enam persen, sedangkan BM biji kakao nol persen. "Seharusnya sebagai negara produsen biji kakao terbesar kedua -- setelah Pantai Gading -- dengan produksi sekitar 700 ribu ton per tahun, Indonesia bisa mengembangkan industri kakao olahan lebih besar," katanya. Menurut dia, produksi biji kakao yang besar tersebut justru lebih dinikmati industri olahan negara lain terutama Singapura dan Malaysia yang bukan produsen utama biji kakao," katanya. Malaysia dan Singapura menerakpan BM nol persen untuk biji kakao guna mengembangkan industri produk kakao olahan di negara-negara tersebut yang kemudian menjadi pesaing produk Indonesia di pasar internasional terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, ia menilai penerapan PE biji kakao yang dipatok pada angka sebesar 50 dolar AS per ton akan membantu peningkatan daya saing industri produk kakao di pasar internasional. Namun Pieter mengingatkan agar pemerintah mengembalikan PE kakao yang diterimanya kepada petani kakao dalam bentuk pengadaan pupuk, bibit unggul gratis, dan pembangunan infrastruktur baik jalan maupun pelabuhan. "Sekitar 80 persen produk kakao Indonesia dihasilkan oleh petani perorangan. Oleh karena itu PE yang diperoleh harus dikembalikan kepada mereka dalam bentuk pengadaan pupuk, bibit, dan pembangunan infrastruktur, agar mereka tidak merasa dirugikan karena manfaat pengenaan PE mereka rasakan juga," katanya. Menanggapi apakah kenaikan harga biji kakao yang telah menembus angka sekitar 2.400 dolar AS per ton pada perdagangan New York membuat kalangan industri kesulitan mendapatkan bahan baku, Pieter mengatakan, pasokan biji kakao domestik ke industri masih aman. "Dampak kenaikan harga biji kakao hanya membuat biaya produksi kami meningkat sehingga butuh modal kerja lebih besar. Untungnya, permintaan produk olahannya di Eropa masih tinggi," ujarnya. Kapasitas produksi industri pengolahan kakao di Indonesia sendiri saat ini mencapai sekitar 300 ribu ton, namun pemanfaatan kapasitas produksinya masih rendah hanya sekitar 50 persen tahun lalu. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008