Medan (ANTARA News) - Sedikitnya ada lima faktor penyebab kehancuran sebuah bangsa yang selama ini indikasinya banyak terjadi di Indonesia. Pengamat sosial politik, Drs. Ansari Yamamah, MA di Medan, Senin, mengatakan kelima faktor itu adalah punggawa pemerintahan menjadikan korupsi dan kolusi sebagai ajang pesta pora serta pengusaha hanya berkacamata kapitalisme. Selain itu cendekiawan, akademisi dan praktisi bertingkah seperti "anjing penjilat, pemuka agama juga terjebak pada bisikan materialisme dan kepentingan penguasa serta masyarakat awam yang sedang kesusahan tidak mau lagi berdoa. Menurut Ansari, ketika punggawa pemerintahan telah menjadikan korupsi dan kolusi sebagai ajang pestapora, maka peraturan tinggal semboyan belaka. Peraturan tidak lebih dari sekadar nyanyian merdu untuk meninabobokan masyarakat, katanya. Fenomena itu, tambah Ansari, semakin membuka peluang bagi pengusaha serakah untuk menerapkan sistem kapitalisme dalam bisnisnya. Para pengusaha serakah tersebut tidak khawatir lagi menjadi masyarakat awam yang menjadi buruh sebagai "sapi perah". Kondisi tersebut semakin diperparah dari banyaknya cendekiawan, akademisi dan praktisi bertingkah. Tidak jarang cendekiawan, akademisi dan praktisi tersebut berteriak lantang tentang kebenaran dan idealisme. Namun ketika para cendekiawan, akademisi dan praktisi itu diberi kesempatan berdampingan dengan punggawa pemerintahan, tingkah mereka terkadang "lebih bejat". Para cendekiawan, akademisi dan praktisi tersebut sering menjadi "stempel" dari ketidakbenaran punggawa pemerintahan, katanya. Lebih lanjut Ansari menambahkan, dalam kondisi yang "carut marut" itu harapan terakhir adalah kekonsisten pemuka agama untuk memberikan pencerahan. Namun jika pemuka agama juga telah terbius bisikan materialisme, maka keberadaannya juga tidak lebih dari stempel bagi ketidakbenaran punggawa pemerintahan. Masyarakat awam hanya bisa berdoa agar carut marut segera berakhir. "Jika masyarakat awam juga tidak mau berdoa, maka 'kiamat' sudah di depan mata bagi Indonesia, katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2008