Jakarta (ANTARA News) - Tepuk tangan menggema di salah satu ruangan di Planet Hollywood, Jakarta Selatan pekan lalu ketika Angger Sanyoto (17) dan Roswitha Muntiyarso (17) selesai menyampaikan testimoni soal rahasia keberhasilan meraih prestasi tingkat dunia tanpa memakai narkoba. Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) Made Mangku Pastika menyebut keduanya adalah contoh anak bangsa yang menunjukkan prestasi tanpa memakai narkoba."Prestasi yes, narkoba no!" seru Pastika yang disambut tepuk tangan oleh ratusan orang yang hadir termasuk Ketua Umum PWI Pusat Tarman Azzam. Kedua remaja itu dinobatkan BNN menjadi ikon remaja berprestasi tanpa narkoba. Angger adalah juara pertama karate junior putera pada kejuaraan Skandinavia Open yang berlangsung di Norwedia, 2008 sedangkan Roswitha adalah peraih medali perunggu dalam olimpiade Biologi yang dilaksanakan di Kanada, Juli 2007. Atas prestasinya itu, pelajar SMA ini dijadikan ikon dalam kampanye anti narkoba oleh BNN. Keduanya tidak canggung berbicara di depan podium untuk bercerita soal prestasi yang mereka raih bahkan pertanyaan dari pembawa acara pun dijawab dengan tenang. Sebagai atlet karate, pelajar kelas 3 SMAN 1 Jakarta ini tampil dengan busana layaknya seorang atlet yang mau bertanding yakni baju karate lengkap dengan sabuk tanpa memakai alas kaki. "Lho kok tidak pakai sepatu... gak sopan dong..," kata pembawa acara dengan sedikit tersenyum. Angger dan beberapa pengunjung hanya tersenyum karena tahu ucapan itu hanya gurauan aja. Remaja yang lahir di Jakarta pada 24 Oktober 1990 ini mengakui bahwa selama ini ia hidup berdekatan dengan narkoba. "Saya pernah melihat sendiri ada orang jatuh di depan saya dengan kondisi masih pakai jarum suntik di tangannya. Mulutnya berbusa" katanya. Anak dari pasangan Agus Susanto (anggota TNI) dan Titi Sarti (PNS di RSPAD Gatot Subroto) ini mengatakan, bahwa di sekitarnya telah banyak anak muda yang terjerumus narkoba. "Ada yang kenal narkoba sejak SD. Yang sudah usia 40 tahun juga ada," kata atlet karate nasional ini. Ia pun bertekad tidak akan bersentuhan dengan narkoba yang telah merusak teman-temannya. Angger mengatakan akan mewujudkan impiannya yakni meniti berprestasi dengan satu tujuan agar dapat memakai lambang merah putih di dada kirinya ketika bertanding di kejuaraan nasional. "Saya ingin (bendera, red) Merah Putih berkibar di negara lain," katanya yang disambut tepuk tangan para pengunjung. Di akhir testimoninya, Angger memeragakan sejumlah gerakan karate yang mengundang decak kagum para hadirin. Kepala ANTARA, Angger mengaku belajar karate sejak kelas 5 SD. Didukung keluarga termasuk kakaknya yang pernah menjadi atlet karate juga, Angger dengan cepat meraih berbagai kejuaraan di tingkat nasional. Sejak kelas 2 SMP, ia sudah merajai berbagai kejuaraan karate di tanahair yaitu di Batam, Jambi, Bandung, Jakarta dan Palembang. Di saat teman-teman di lingkungannya terjebak narkoba, Angger justru sibuk berlatih kareta dengan keras dan jadual ketak dua kali dalam seminggu. Namun begitu, ia juga mengaku pelajaran di sekolahnya tidak kedodoran bahkan pihak sekolah memberikan dukungan penuh kegiatan olahraga yang digelutinya di luar sekolah. Tawaran menjadi ikon BNN diterima lewat pengurus induk organisasi karate tempat ia bernaung selama ini. Keluarga, pelatih dan kawan-kawannya pun memberikan dukungan agar Angger bersedia terlibat dalam kampanye anti narkoba. Ia mengaku selama ini tidak bisa berbuat apa-apa ketika melihat korban kasus narkoba berjatuhan, khususnya di antara teman-temannya sehingga ketika ada tawaran BNN ia pun segera menyambutnya. "Saya terharu ketika hadir di acara BNN. Ternyata masih ada masyarakat yang peduli dengan narkoba," katanya. Kini, tawaran untuk ikut kampanye anti narkoba berikutnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta dari BNN juga telah menantinya. Pelajaran Biologi Kalau Angger mengenal bahaya narkoba dari lingkungannya, maka lain pula dengan cerita Roswitha. Siswi kelas 3 MAN Insan Cendekia, Serpong, Tangerang, Banten ini mengaku mengetahui bahaya narkoba ketika mempelajari ilmu biologi. "Dari belajar biologi itulah saya tahu bahwa narkoba dapat merusak syaraf-syarat tubuh," katanya ketika memberikan testimoni pada acara BNN, Senin (24/3). Remaja berkerudung yang lahir di Jakarta, 19 November 1990 itu mengaku bahwa selama ini dirinya tidak pernah dekat dengan denarkoba. Ia mengaku kondisi lingkungannya sangat mendukungnya untuk berprestasi tanpa menggunakan narkoba sebab mulai dari SD hingga SMA ia bersekolah di sekolah Islam. "Pendidikannya ketat sehingga peluang masuknya narkoba sangat kecil," katanya. Berkat medali perunggu yang disabet pada olimpiade biologi di Kanada itulah, ia diminta BNN menjadi ikon narkoba. "Mudah-mudahan banyak anak Indonesia yang bisa berprestasi tanpa narkoba," kata Roswitha yang ketika itu memakai seragam baju putih lengan panjang, rok panjang warna abu-abu dan jilbab putih itu. Ia mengaku, awalnya hanya coba-coba ikut tes olimpiade biologi namun ternyata bisa lolos mulai tingkat kabupaten, propinsi hingga nasional. Kendati ia memenangi olimpiade biologi, namun anak sulung dari dua bersaudara ini mengaku lebih suka pelajaran fisika dibandingkan dengan biologi. "Saya suka fisika tapi kok lolos di biologi," katanya. Kepada ANTARA, putri pertama pasangan Muntiyarso dan Reni Puji Rahayu ini mengaku, prestasinya itu diraih berkat dukungan orangtua, guru dan tim pembimbing dari Institut Teknologi Bandung (ITB). "Orangtua dukung saya. Kemana-mana saya diantar," katanya. Begitu lolos dalam seleksi tingkat nasional, ia pun masuk karantina di Bandung selama sebulan sebelum bertanding di Olimpiade. Akibat kesibukannya itu ia mengakui bahwa sejumlah mata pelajaran pun sempat tertinggal sehingga kini ia harus mengejar mata pelajaran lain usai perlombaan. "Dukanya seperti itu. Saya harus mengejar pelajaran lain yang kedodoran," katanya. Keikutsertaan dalam berbagai lomba itu membuat ia banyak mendapat teman baru tidak saja di dalam negeri tapi juga luar negeri sehingga secara tidak langsung tercipta jaringan antar teman. Pulang dari Kanada, dua perguruan tinggi ternama di Singapura telah menantinya untuk bergabung menjadi mahasiswa lengkap dengan tawaranfasilitas beasiswa selain tawaran untuk masuk ITB. "Saya mau kuliah bilogi di Singapura, namun belum tahu mau ambil universitas yang mana," katanya. Apa yang dialami Roswitha berkebalikan dengan yang lain. Di saat ratusan ribu siswa seangkatannya harus berebut kursi untuk masuk perguruan tinggi Juli 2008 mendatang, Roswitha justru sebaliknya tinggal memilih mau masuk yang perguruan tinggi yang mana. "Berprestasilah dengan cara yang baik," serunya kepada sesama remaja. BNN menyebutkan 3,2 juta orang Indonesia terjerat narkoba dimana 30 persennya adalah adalah pelajar dan mahasiswa. Dan, Angger dan Roswitha bukan bagian dari jumlah 30 persen itu.(*)
Pewarta: Oleh Santoso
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008