"Dampak pemakaian gawai pada anak sudah disinyalir sejak beberapa tahun lalu. Sudah diakui oleh WHO, ada adiksi terhadap gawai, ada diagnosanya," kata Lilis dalam bincang-bincang di Kementerian Kesehatan di Jakarta, Jumat.
Lilis kerap menjumpai kasus anak yang terlambat bicara pada kedua orang tuanya yang bekerja sehingga menitipkan pengasuhan anak pada orang lain seperti asisten rumah tangga atau kerabat dekat.
Anak dibebaskan menggunakan gawai agar tenang dan tidak rewel. Namun, dengan seringnya penggunaan gawai yang membuat anak usia dini hanya menonton tanpa ada interaksi malah berdampak serius pada kemampuan bicaranya.
Selain dampak pada keterlambatan berbicara, penggunaan gawai pada anak balita juga mempengaruhi kesehatan mata, kesehatan telinga, dan juga gangguan tidur karena terus menerus menggunakan gawai.
"Pada anak yang belum bisa bicara, akan mengalami perkembangan yang terlambat bicara (delay speech). Untuk anak-anak usia sekolah akan mempengaruhi menurunnya konsentrasi dan berakibat turunnya prestasi belajar," kata dia.
Selain itu penggunaan gawai juga mempengaruhi interaksi sosial di keluarga dengan anggota keluarga yang sibuk dengan gawai masing-masing dan tidak bisa interaksi secara langsung.
Lilis menyarankan agar orang tua mengatur dan tidak memperkenalkan gawai pada anak sejak usia dini. Dia merekomendasikan orang tua lebih sering mengajak anak bermain sebagai kebutuhan utamanya, di samping juga bisa mengalihkan dari penggunaan gawai.
Baca juga: Momentum HAN, vloger cilik rilis single kritik kecanduan gawai anak
Baca juga: Mama Yo minta orang tua awasi anak bermain gawai
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019