Jakarta (ANTARA News) - Seruan untuk mencabut lisensi frekuensi yang dikantongi operator seluler PT Natrindo Telepon Seluler (NTS) karena penggunaannya tidak optimal semakin kuat, seperti disuarakan Komite Nasional Telekomunikasi Indonesia (KNTI). "Frekuensi yang dialokasikan regulator kepada NTS sejak lisensi layanan seluler generasi ke dua (2G) dan 3G yang diberikan pada tahun 2002, tidak digunakan optimal sehingga harus dicabut," kata Ketua KNTI Srijanto Tjokrosudarmo kepada ANTARA News di Jakarta, Kamis. Menurut Srijanto, NTS saat ini menguasai pita frekuensi yang cukup lebar, yaitu 15 MHz. "Pemerintah harus bijaksana dengan memberi kesempatan kepada operator lain yang bisa memanfaatkan frekuensi itu secara optimal," ujarnya Sementara itu, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Kamilov Sagala meminta semua pihak untuk bersabar karena regulator masih terus mengevaluasi penggunaan frekuensi oleh penyelenggara jaringan (operator). "Pada bulan April, semua operator dipastikan memberikan laporannya secara komprehensif," tegas Kamilov yang juga Ketua Tim Audit Frekuensi BRTI. Terkait penggunaan frekuensi yang tidak optimal tersebut, pemerintah (Ditjen Postel) telah mengingatkan NTS agar mengoptimalkan penggunaan pita frekuensi yang dimiliki jika tidak ingin lebar pita dikurangi atau bahkan dicabut. Surat peringatan Ditjen Postel kepada NTS sudah dilayangkan, tertuang dalam surat No. 08/DJPT.4/KOMINFO/8/2008.tertanggal 29 Februari 2008. "Peringatan didasarkan pada hasil kajian Ditjen Postel dengan menggunakan basis data Sistem Informasi Manajemen Frekwensi (SIMF)," kata Kabag Umum dan Humas Ditjen Postel Depkominfo, Gatot S. Dewa Broto. Menurut Gatot, spektrum frekuensi merupakan sumber daya terbatas yang dimiliki pemerintah, sehingga harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan pelayanan jasa penyelenggaraan telekomunikasi kepada masyarakat. Diketahui, pemerintah menerbitkan izin prinsip kepada NTS yang dahulu menggunakan merek dagang Lippo Telecom pada 20 Desember 2002 berdasar surat Menteri Perhubungan No. PT 003/13/24/PHB/2002. Operator seluler yang kini menggunakan merek dagang Axis ini merupakan pemegang lisensi digital cellular service (DCS) 1800 regional, namun sejak 20 Desember 2002 mendapat lisensi yang bersifat nasional. Desakan kepada pemerintah agar tegas menindak operator yang tidak optimal juga disampaikan Anggota Komisi I DPR-RI Deddy Djamaludin. "Pemerintah agar secepatnya menertibkan penggunaan frekuensi oleh operator agar menjadi pemasukan bagi kas negara dan menguntungkan masyarakat," kata Deddy. Untuk itu pula, Komisi I DPR sepakat membentuk Panitia Kerja Frekuensi yang akan bertugas memantau penggunaan frekuensi oleh operator dan proses transaksi jual beli pita yang sudah dan mungkin akan terjadi, yang ditangani langsung Kelompok Kerja Informasi dan Komunikasi Komisi I DPR. Deddy yang juga Wakil Ketua Pokja Infokom Komisi I DPR itu mengatakan, pemerintah juga pernah mencabut atau mengurangi frekuensi milik Cyber Access Communication, Mobile-8, dan Bakrie Telecom. Sementara itu, Head of Corporate Communication NTS Anita Avianty menyatakan belum bisa memberikan tanggapannya, tetapi dia memastikan pihaknya telah memenuhi semua komitmen dalam lisensi modern penyelenggaraan jasa telekomunikasi. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008