Jakarta (ANTARA News) - Prof Steve H Hanke, penasehat ekonomi Soeharto pada masa-masa akhir pemerintahannya pada 1998, akhirnya bisa kembali ke Indonesia, setelah 10 tahun meninggalkan Jakarta.Kepada berbagai kalangan di Jakarta, Kamis, ahli ekonomi dari John Hopkins University, Amerika Serikat, itu menjelaskan bagaimana rupiah ambruk yang diakhiri dengan jatuhnya Soeharto."Sama yang dilakukan terhadap Shah Iran, Amerika Serikat telah mengeliminasi Soeharto," katanya seperti ia tulis dalam majalah Forbes 15 Januari 1998. Steve Hanke datang ke Jakarta untuk bicara pada Globe Asia Exclusive Insights yang dihadiri kalangan bisnis dan tokoh penting lainnya. Penerbit Globe Asia Tanri Abeng memperkenalkan peneliti dari Cato Institute itu sebagai penasehat ekonomi Soeharto pada masa krisis ekonomi melanda Indonesia. Tanri juga memperkenalkan panelis lain, seperti pengusaha Noke Kiroyan, bankir Anton H Gunawan dan Peter Gontha. Nama terakhir adalah yang disebut-sebut media kala itu sebagai orang yang mempertemukan Hanke dengan Soeharto. Pers waktu itu melaporkan bahwa Hanke sedang berada di Istambul ketika ia menerima "telepon rahasia" dari Jakarta. Ekonom kondang itu diminta segera terbang ke Jakarta untuk bertemu Presiden Soeharto. Menumpang pesawat khusus, Hanke tiba di Jakarta dan segera mengadakan pertemuan dengan Presiden Soeharto di Jalan Cendana Jakarta. Pertemuan itu disebut-sebut diatur Siti Hardijanti Rukmana dan Peter Gontha yang dikenal sebagai mitra bisnis Bambang Trihatmodjo, bos grup Bimantara yang juga anak Soeharto. Seminggu kemudian, masih menurut pemberitaan media waktu itu, saat menerima 100 ulama di Bina Graha dalam acara Halal bi halal, Presiden mengutarakan maksudnya untuk "mematok rupiah pada tingkat tertentu dengan valuta asing". Presiden juga menegaskan bahwa pemerintah telah menemukan cara untuk "mematikan para spekulan". Tampak jelas, Hanke dan konsep yang kemudian dikenal dengan currency board system (CBS) mengilhami Kepala Negara dalam usaha mematok kurs rupiah yang sudah jatuh sampai 75 persen sejak Juli 1997. Tidak benar Namun, Peter Gontha membantah telah menjadi pihak yang mengundang Hanke ke Cendana. "Saya baru pertama kali ketemu Prof. Hanke hari ini, di forum ini," kata Gontha yang duduk di sebelah Hanke. Hanke telah membantah laporan harian Wall Street Journal edisi 10 Februari 2008 yang melaporkan bahwa Gontha memanggilnya ke Jakarta untuk menyiapkan kertas kerja ke Soeharto yang merekomendasikan pemerintah supaya nilai tukar rupiah dipatok pada 5.500 per dolar. "Ini berita tidak benar. Saya tidak bertemu, atau kenal, dengan orang yang namanya Peter Gontha," katanya seperti juga yang ditulis dalam kolomnya di Globe Asia edisi 27 Januari 2007. Hanke membenarkan bahwa dirinya memang bertemu Soeharto di Cendana. "Dengan wafatnya Soeharto, saya mengenang pertemuan rutin kami di malam hari di kediamannya (jalan Cendana). Saya kagum dengan fakta bahwa di tengah badai, Soeharto selalu tenang dan kalem. Itulah satu sisi Soeharto yang saya tahu," katanya. Dalam analisisnya mengenai "kejatuhan rupiah dan Soeharto", Hanke menguraikan krisis ekonomi yang melanda Asia dimulai dengan goncangnya mata uang Thailand. Saat bath ambruk, rupiah terkena dampak gelombang tsunami ekonomi itu. Bahkan kondisi berkembang lebih parah. Dalam waktu singkat rupiah merosot dari 2.700 per dolar menjadi 16.000 rupiah per dolar pada 1998. Akhir Januari 1998, Presiden Soeharto menyadari bahwa ramuan IMF untuk memulihkan ekonomi nasional tidak mustajab. Soeharto lalu meminta pendapat kedua (second opinion). "Bulan Februari, saya diundang untuk menyampaikan `second opinion` itu dan mulai menjadi penasehat ekonominya," kata Hanke. Setelah beberapa kali bertemu di kediaman Soeharto di Cendana, Hanke mengusulkan sebuah kebijakan untuk mematok rupiah pada harga tertentu terhadap dolar AS. Pada saat berita pemerintah akan mematok harga nilai tukar rupiah didengar publik, mata uang Indonesia itu menguat 28 persen terhadap dolar AS. "Perkembangan ini membuat marah pemerintah AS dan IMF," kata Hanke. Soeharto ditekan Menurut Hanke, serangan keji terhadap gagasan Currency Board System (CBS) dan dirinya sebagai penasehat ekonomi presiden dilancarkan. Suharto ditekan oleh Presiden AS Bill Clinton dan Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus supaya tidak melaksanakan CBS dengan ancaman menunda bantuan 43 miliar dolar. Seiring dengan berjalannya waktu, Hanke kemudian mendapat jawaban mengapa idenya tentang CBS dibantai habis-habisan, padahal di negara lain bisa jalan dengan baik. Merton Miller, seorang penerima Hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi, mengatakan bahwa penolakan pemerintah Clinton terhadap CBS "bukan karena itu tidak akan jalan tapi justeru kalau itu jalan maka Soeharto akan terus berkuasa". Pendapat sama, lanjut Hanke, juga dikemukakan oleh mantan PM Australia Paul Keating. Keating mengatakan "AS tampak dengan sengaja menggunakan ambruknya ekonomi sebagai alat untuk menggusur Soeharto". Bahkan Michel Camdessus, seperti dikutip Hanke, tidak menolak pendapat seperti itu. Setelah pensiun dari IMF, Camdessus dengan bangga memproklamirkan bahwa "Kami menciptakan kondisi bahwa Persiden Soeharto harus meninggalkan jabatannya". Tidak heran jika Prof Hanke berkesimpulan bahwa "As it did with the Shah of Iran, the U.S. has eliminated Soeharto" (sama yang dilakukan terhadap Shah Iran, Amerika Serikat telah mengeliminasi Soeharto).(*)

Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008