Jenewa (ANTARA News) - Biofuel (bahan bakar nabati) memukul konsumen miskin di Asia, karena telah mendorong naiknya harga tanaman pangan. Produk itu juga gagal menolong para petani yang tidak mampu mengganti tanaman mereka agar meraih manfaat dari maraknya penggunaan minyak nabati, ungkap laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kamis. "Sampai sejauh ini, petani miskin di pedesaan tidak memperoleh manfaat dari produksi minyak nabati. Mereka kekurangan sarana untuk memperluas lahan dan menyesuaikan diri dengan tanaman-tanaman baru," ungkap laporan tersebut. "PBB juga menyatakan, keinginan membuat pertanian skala besar untuk menghasilkan minyak nabati, akan menggusur tanah petani miskin dan mengasingkan mereka dari produksi minyak nabati," tulis laporan itu, seperti dikutip AFP. "Petani kecil yang miskin, khususnya, telah dibiarkan tertinggal," ungkap ekonom Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB, Cape Kasahara, kepada wartawan di Jenewa. Munculnya minyak nabati telah mendapat kecaman, dan Menteri Keuangan India P. Chidambaram, Rabu, mengeritik negara-negara seperti Amerika Serikat karena membelokkan produk perkebunan untuk menghasilkan minyak nabati. Chidambaram mengatakan hal tersebut telah menyebabkan harga makanan global membubung. Petinggi perusahaan makanan Nestle Peter Brabeck sebelumnya juga mengatakan bahwa peningkatan pemakaian tanaman pangan, seperti gandum dan jagung, untuk membuat minyak nabati, telah membuat persediaan makanan dunia dalam risiko. Laporan PBB itu juga mencatat bahwa sektor pertanian mempunyai potensi untuk menurunkan harga minyak serta memperbanyak keperluan petani, namun pemerintah juga dituntut "cermat dalam mempertimbangkan dampak untuk kaum miskin". Laporan itu juga meminta adanya suatu "revolusi" di sektor pertanian, dan mengatakan revolusi itu dapat mengangkat 218 juta orang di Asia-Pasifik keluar dari kemiskinan. Laporan PBB itu mendesak diberikannya perhatian baru terhadap sektor pertanian, yang mempekerjakan 60 persen orang se-Asia Pasifik, selain mengemukakan perlunya peningkatan rata-rata produktivitas kerja di bidang pertanian. "Penyia-nyiaan selama beberapa dasawarsa telah melemahkan kemampuan sektor pertanian dalam mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan." "Pertumbuhan dan produktivitas di pertanian telah mandek, dan revolusi hijau, yang menaikkan hasil pertanian pada dasawarsa 70-an, telah melewatkan jutaan orang," ungkap laporan. Jika produktivitas kerja naik sebanyak satu persen saja, sekitar 2,37 juta orang akan keluar dari kemiskinan, ungkap laporan itu. Jika tolok-ukurnya adalah tingkat produktivitas di Thailand saat ini, 218 juta orang bisa luput dari kemiskinan. Laporan itu menganjurkan reformasi dalam kebijaksanaan guna menghubungkan masyarakat pedesaan dengan pasar mereka, serta menyediakan ketrampilan atau kemudahan bagi orang yang ingin keluar dari sektor pertanian. (*)

Copyright © ANTARA 2008