Semarang (ANTARA) - Di saat rekan-rekan seusianya dan bahkan orang dewasa masih tertidur lelap di kasur empuk, Angel Gabriela Yus (18 tahun), sudah nyebur ke kolam renang untuk memulai latihan rutin.
Jam latihan Angel sebagai perenang memang berbeda dengan cabang olahraga lain. Pukul 03:00 pagi, ia sudah memulai latihan di kolam renang di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Berarti siswi kelas tiga SMA Don Bosco Jakarta Selatan itu sekitar pukul 02:00 sudah bangun, mempersiapkan diri dan kemudian berangkat latihan.
Jadwal latihan Angel memang padat dan diperlukan kesungguhan, motivasi serta kemauan kuat untuk melakukannya secara konsisten.
Usai latihan pada pukul 03:00 sampai 06:00, Angel pun pergi sekolah dan pulang pukul 15.00. Setelah itu dia tidak bisa santai atau kongkow-kongkow bersama teman sebaya, tapi latihan lagi pukul 16.00 sampai 18:00.
Setelah itu pulang, istirahat dan belajar, tidur sekitar pukul 21.00 karena sebelum 03:00 ia sudah berada di kolam renang lagi.
Itulah rutinitas yang harus dijalani Angel sebagai atlet sekaligus pelajar dari Senin sampai Sabtu. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk latihan dan latihan dan ia hanya menikmati waktu liburan pada hari Minggu atau tanggal merah.
Hampir tidak ada waktu tersisa untuk menikmati hari-hari seperti remaja lain seusianya karena waktu libur harus dimanfaatkan untuk istirahat.
Kerja keras tersebut mengantar Angel meraih medali emas di nomor estafet 4x200m di Pekan Olahraga Pelajar ASEAN (ASEAN School Games/ASG) yang berakhir, Rabu (24/7) di Semarang.
Selain satu emas, remaja kelahiran 24 September 2001 itu juga menyumbang dua perak, masing-masing di nomor 200m gaya dan 4x100m gaya bebas.
Tapi prestasi terbaik Angel justru di PON 2016 ketika ia masih siswa SMP, yaitu menyumbang dua emas untuk Kalimantan Utara di nomor 100m gaya kupu-kupu 50m. Tidak tanggung-tanggung, ia sekaligus memecahkan rekor PON yang sudah bertahan selama 20 tahun di tangan Elsa Manora Nasution.
Sebagaimana atlet remaja lainnya, Angel juga harus berhadapan dengan dilema, antara pengejar podium dengan prestasi olahraga, atau mengejar prestasi akademik di sekolah. Adalah hal yang sangat sulit untuk mengejar keduanya sekaligus.
Bahkan, sebelum memilih kembali ke jalur prestasi untuk tampil di PON membela Kalimantan Utara, Angel sempat meninggalkan pelatihan karena lebih memilih sekolah.
Namun, setelah diminta untuk berjuang membela provinsi termuda itu, Angel yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama ketika itu, menyatakan kesiapannya, tapi dengan syarat, ia tidak dibebani target apapun.
"Kalau saya untuk sementara ini memilih fokus sebagai atlet karena usia untuk berprestasi di cabang renang tidak lama. Setelah tamat SMA, mungkin saya akan lebih fokus ke pendidikan," kata Angel ketika ditanya rencananya ke depan.
Fokus menghadapi olahraga di saat masih menjadi pelajar juga disampaikan Muhammad Fikri, atlet voli yang juga siswa kelas 3 SMK Pasundan II Bandung.
Fikri yang ditemui di sela upacara penutupan pesta olahraga pelajar ASEAN di komplek Candi Borobudur, Magelang, Kamis, mengaku bahwa ia lebih memilih untuk berkonsentrasi menggeluti olahraga yang dikenalnya sejak bangku SD itu.
"Pendidikan memang perlu, tapi karena saya memang hobi olahraga, saya lebih memilih fokus berlatih voli," kata remaja berusia 18 tahun itu.
Berbekal ijazah yang ditunjang oleh prestasi di bidang olahraga, Fikri menyatakan keyakinannya bahwa ia tetap punya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat universitas, apalagi saat ini sudah banyak perguruan tinggi yang punya komitmen menerima atlet berprestasi. STIE Perbanas di Jakarta adalah salah satu diantaranya.
Sebagai atlet pelajar, Fikri mengaku merasa beruntung karena sekolahnya menyediakan fasilitas asrama dan juga gedung voli sehingga ia bisa menggunakan waktu secara efisien.
Dukungan orang tua
Sukses tidaknya seorang atlet, apalagi mereka yang masih berstatus pelajar tidak terlepas dari dukungan orang tua, pelatih dan lingkungan tempat tinggal.
"Namanya juga masih remaja, karakter atlet pelajar tentu beda dengan mereka yang sudah profesional. Orang tua dan pelatih juga menghadapi tantangan dalam memberikan dorongan," kata mantan karateka nasional Rossy Nurasjati.
Rossy menuturkan pengalamannya sebelum benar-benar menekuni profesi sebagai atlet karate, orang tuanya sudah memberi dorongan dan motivasi atas pilihannya sebagai atlet.
"Waktu itu orang tua saya mendukung pilihan sebagai atlet, tapi dengan syarat pelajaran di sekolah tidak boleh terbengkalai. Saya pun kemudian harus mempertanggungjawabkan pilihan itu," kata mantan juara Asia tersebut.
Rossy, pegawai kantor Kemenpora yang sudah menggondol gelar doktor itu menyatakan bahwa ada stigma yang salah dalam masyarakat umum, bahwa seorang atlet pasti memiliki kemampuan akademis rendah.
"Itu jelas salah. Justru atlet mempunyai tingkat kecerdasan lebih tinggi karena secara fisik mereka lebih segar sehingga otak mereka juga dengan gampang mencerna pelajaran," kata Rossy yang saat ini menjabat sebagai Kelapa Seksi Olahraga Daerah di Kemenpora itu.
Cuma yang menjadi masalah, atlet pelajar memerlukan usaha lebih keras untuk belajar karena waktu mereka banyak tersita untuk latihan dan bepergian saat mengikuti berbagai kejuaraan.
"Sekarang tinggal kemauan dan motivasi saja. Kalau memang siap untuk belajar lebih keras dan bisa membagi waktu, pelajaran di kelas bisa dikejar," katanya.
Kepada atlet berprestasi di ASG 2019, Rossy berpesan agar mereka tidak usah khawatir jika memilih olahraga sebagai jalur menuju masa depan.
"Sekarang kondisi sudah berbeda. Pemerintah sudah memberikan banyak perhatian terhadap atlet berprestasi. Tidak hanya bonus, tapi juga jaminan sebagai pegawai negeri," kata Rossy.
"Pendidikan tidak akan tertinggal jika si atlet bisa membagi waktu dan fokus. Yang penting ada kemauan dan mau bekerja keras," katanya.
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2019