Jakarta (ANTARA News) - Undang-Undang Pemilihan Umum yang baru saja disahkan oleh DPR dinilai akan berimplikasi pada menguatnya oligarki partai. "Undang-undang ini tidak sertamerta dapat mengembalikan situasi menjadi benar-benar baik, mengingat masih ada persoalan kedekatan emosional yang kerap mengerdilkan makna berpartai dan melanggengkan kecenderungan oligarki," kata Firman Noor dari Pusat Studi Informasi dan Pembangunan (CIDES) di Jakarta, Selasa. Firman Noor, yang ditemui di sela-sela Seminar Nasional "Implikasi UU Pemilu 2008 Bagi Kehidupan Demokrasi di Indonesia", menilai UU Pemilu tersebut akan berimplikasi pada penyederhanaan jumlah partai. Itu berarti, lanjutnya, akan semakin sedikit pihak yang akan turut menentukan secara langsung proses pembuatan kebijakan yang menentukan nasib bangsa. Karena, dengan penyederhanaan partai di lembaga legislatif, maka hampir semua partai harus memperkuat diri. "Sisi positif UU Pemilu ini adalah berpotensi memaksa partai agar bekerja keras dan semakin memodernkan partai," katanya. Namun, UU itu tidak sepenuhnya dapat mengubah partai menjadi lebih baik. Menurut dia, UU Pemilu menganut sistem pemilu proporsional dan tetap memberlakukan sistem nomor urut dalam menentukan calon legislatif. Diberlakukannya nomor urut cenderung tetap memberikan peluang besar bagi pengurus partai untuk menentukan siapa saja yang lolos menjadi anggota parlemen. "Hal ini cenderung melanggengkan oligarki partai," ujarnya. Senada dengan Firman, Dewan Direktur CIDES Indria Samego mengatakan UU Pemilu memberikan kesempatan penuh bagi pemimpin partai untuk membuat keputusan. "Partai menjadi besar karena oligarki. Ketokohan sangat menentukan nasib partai. Jadi ketika terjadi suksesi kepemimpinan yang terjadi adalah mengganti `baju`," ujar pengamat politik LIPI itu. Anggota partai politik, tambahnya, seharusnya tidak mengandalkan karisma ketokohan atau kebesaran partainya tetapi lebih mengutamakan kepentingan rakyat.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008