Jakarta (ANTARA News) - Ekonom lembaga riset ekonomi Indef, Aviliani, mengingatkan agar pemerintah tidak membuat bom waktu terkait dengan meroketnya harga minyak dunia. "Terkait dengan harga BBM, pemerintah jangan memberi kesan seolah-olah aman padahal sebenarnya menciptakan bom waktu," kata Aviliani, di Jakarta, Senin. Aviliani meminta pemerintah menyusun APBNP 2008 yang benar-benar berkelanjutan, tidak hanya untuk kepentingan 2008 dan 2009, tapi juga APBN berikutnya ketika pemerintahan sudah berganti. Kenaikan harga minyak akan meningkatkan alokasi belanja khususnya subsidi pada APBN dan untuk menutupnya pemerintah melakukan utang baik dalam negeri maupun luar negeri. "Kalau pemerintah tidak melakukan langkah terobosan, sekitar 40 persen anggaran negara akan habis hanya untuk subsidi, bayar utang, dan bunga utang. Itu beban pemerintah ke depan," katanya. Menurut dia, semakin kecil anggaran untuk pembangunan, maka perekonomian Indonesia tidak bisa bergerak untuk rakyat, apalagi untuk pembangunan infrastruktur. "Artinya perekonomian selama 2008 masih akan tetap jalan di tempat, apalagi pemerintah sudah menyatakan tidak akan menaikkan harga BBM," katanya. Mengenai pembiayaan dengan penerbitan surat utang, Aviliani meminta pemerintah mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh oleh perekonomian secara menyeluruh. "Penerbitan ORI terakhir menunjukkan bahwa orang kaya makin banyak karena pembelian ORI hingga lebih dari Rp13 triliun itu tidak mengurangi dana masyarakat di deposito maupun tabungan. Itu menunjukkan bahwa dana yang masuk ke pasar keuangan sangat besar," katanya. Namun sangat disayangkan antara sektor finansial dengan sektor riil terdapat disparitas sangat besar di mana sektor pertanian dan perdagangan tidak memperoleh pendapatan berarti sementara sektor finansial memperoleh pendapatan berlimpah. "Ketika harga pangan meroket maka yang terkena dampal paling telak adalah mereka yang bergerak di sektor riil sementara di sektor finansial menikmati pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya berasal dari cost pemerintah," katanya. Sementara itu Direktur Pelaksana Indef, Ahmad Erani Yustika mengatakan, kondisi makro ekonomi selama 2007 sebenarnya memberi peluang kepada sektor riil untuk bergerak dengan lebih cepat. "BIB rate turun dari tahun 2006 sebesar 12,75 persen menjadi 8 persen pada akhie 2007, rupiah terkendali. Itu modal penting untuk menggerakkan perekonomian, namun kenyataannya kondisi makro ekonomi tak sejalan dengan ekonomi riil," katanya. Menurut dia, faktor-faktor penyebab adanya selisih jalan antara makro ekonomi dengan ekonomi riil itu merupakan salah satu pekerjaan yang harus dilakukan BI ke depan. (*)

Copyright © ANTARA 2008