Jakarta (ANTARA News) - Pengamat pasar uang, Edwin Sinaga, mengatakan rupiah sulit mendekati angka Rp9.100 per dolar AS, meski bank sentral AS (The Fed) menurunkan suku bunga Fed fund sebesar 75 basis poin menjadi 2,25 persen.
"Sulitnya rupiah mendekati angka Rp9.100 per dolar AS, karena sentimen positif dari pasar eksternal tertahan oleh kenaikan harga minyak mentah dunia yang sempat mencapai 111,40 dolar AS per barel," katanya di Jakarta, Senin.
Dikatakannya, kenaikan harga minyak mentah dunia mengakibatkan pelaku asing mengalihkan dananya ke pasar komoditas, mereka tidak tertarik untuk bermain di pasar domestik, terutama di pasar saham yang dinilai sudah jenuh.
Bahkan, sebagian dana yang ditempat di pasar domestik telah dialihkan ke pasar komoditas untuk membeli minyak mentah dan emas, katanya.
Karena itu, lanjut dia, sentimen positif yang seharusnya bisa memicu rupiah menguat lebih besar, tertahan oleh kenaikan harga minyak mentah dan emas.
"Kami memperkirakan rupiah akan masih berkisar di level antara Rp9.165 sampai Rp9.180 per dolar AS," ujarnya.
Rupiah, menurut dia, ke depan juga agak mengkhawatirkan menjelang pemilihan umum (Pemilu) pada 2009, karena akan muncul berbagai gejolak di dalam negeri yang menekannya.
Meski demikian, pemerintah diharapkan dapat mengatasi berbagai gejolak itu, sehingga tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap pasar uang dan pasar saham, katanya.
Menurut Edwin yang juga Dirut PT Finance Corpindo, apabila rupiah tetap bertahan pada kisaran Rp9.100-Rp9.200 per dolar AS, maka tingkat mata uang lokal itu cukup aman.
Namun apabila terpuruk hingga mendekati angka Rp10.000 maka ini sangat mengkhawatirkan, ujarnya.
Ia mengatakan, pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) diperkirakan sudah mempersiapkan langkah-langkah untuk menjaga mata uang Indonesia dalam posisi yang aman, meski ada gejolak pasar.
"Kami optimis BI akan tetap menjaganya, apalagi BI mempunyai cadangan devisa yang semakin besar mencapai 56 miliar dolar AS," ucapnya.
Gejolak global yang kian menekan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor utama yang menekan pertumbuhan ekonomi nasional yang sangat berpengaruh terhadap nilai tukar mata uang negara tersebut, katanya. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008