Padang (ANTARA) - Pagi itu, Kamis (18/7) di Padang, Sumatera Barat, pimpinan KPK Saut Situmorang tiba-tiba bicara tentang kereta api, topik yang terasa agak menyimpang dari sambutannya tentang peran lembaga anti rasuah itu dalam konteks pencegahan di daerah.
Ia menggambarkan bagaimana Sumbar bisa memanfaatkan aset yang ada seperti kereta api untuk menghasilkan pendapatan dengan memberikan sensasi pada wisatawan menikmati keindahan danau dari atas kereta uap peninggalan Belanda.
Tetapi, aset memang menjadi salah satu dari delapan area intervensi KPK untuk disupervisi dalam konteks pencegahan korupsi. Mungkin dari konteks itu penggalan tentang kereta api itu muncul.
Apa yang dikatakan Saut memang tidak salah. Sawahlunto sebagai daerah yang menjadi stasiun kereta uap satu-satunya di Indonesia saat ini sangat merasakan dampak keberadaan kereta api tua yang digelari masyarakat dengan "Mak Itam" itu.
Setidaknya seribuan wisatawan nusantara dan asing berkunjung ke daerah bekas tambang batu bara itu khusus untuk menikmati sensasi naik kereta api uap yang diproduksi pabrik Esslingen (Jerman) pada 1921 tersebut.
Jika dikelola dengan maksimal, aset yang punya nilai sejarah tinggi itu berpotensi besar untuk menghasilkan pendapatan yang lebih besar bagi daerah. Dengan demikian negara akan untung.
Sekarang, dimana lagi orang bisa merasakan duduk dalam kereta api uap sambil menikmati suara pluit panjangnya yang khas dan keindahan danau selain di Sumbar? Tapi, ah, taukah Pak Saut bagaimana nasib "Mak Itam" itu kini?
Taukah ia bahwa onderdil kereta legendaris kebanggaan Ranah Minang itu nyaris dicopoti untuk dijadikan pelengkap barang museum?
Taukah pimpinan KPK itu bahwa ternyata tidak banyak orang yang peduli dengan aset tua meski punya potensi, dan lebih suka menghapuskannya dari pada pusing dalam pemeliharaan?
"Mak Itam" E10 60 merupakan satu dari dua jenis lokomotif legendaris di Ranah Minang. Kereta jenis itu dibeli oleh pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan kereta api Staatsspoorweg ter Sumatra's Westkust (SSS) dari pabrik Esslingen (Jerman) dan SLM (Swiss) pada 1921, 1926 dan 1928.
Lokomotif itu digerakkan oleh tenaga uap dari batu bara atau kayu jati. Roda giginya mampu "memanjat" lereng-lereng Bukit Barisan di Sumatera yang memiliki kecuraman 6-10 persen dengan menarik muatan 130 ton batu bara pula.
Lokomotif itu pernah dibawa ke Ambarawa tahun 1997 untuk perawatan dan perbaikan. Namun, atas permintaan pemerintah daerah pada 3 Desember 2007 silam "Mak Itam" dikembalikan ke Sawahlunto dan 2009 beroperasi sebagai kereta api wisata.
Ribuan wisatawan dalam dan luar negeri datang ke Sawahlunto hanya untuk menikmati sensasi naik kereta uap itu. Sayang karena sudah uzur, "Mak Itam" hanya bisa melayani hingga Maret 2013.
Juni 2016 "Mak Itam" kembali diperbaiki dan bisa beroperasi lagi, tetapi cuma sebentar dan kembali Tidak Siap Operasi (TSO). Hingga kini, lokomotif legendaris itu tidak pernah benar-benar berhasil diperbaiki sehingga tidak pernah dioperasikan lagi, bahkan diwacanakan sebagai cagar budaya.
Hal itu sangat disayangkan, karena seperti dikatakan Saut Situmorang, tidak ada lagi tempat terbaik untuk menikmati perjalanan kereta api uap sambil memandang keindahan danau selain di Sumbar.
Selain "Mak Itam" E10 60, perkeretaapian di Sumbar juga punya lokomotif legendaris lain yaitu BB204 yang secara umur jauh lebih muda.
BB204 didatangkan ke Sumbar dari pabrik Swiss Locomotive and Machine Works (SLM) pada era dieselisasi pada 1981. Ia menjadi satu-satunya lokomotif di Indonesia buatan Eropa yang khusus dioperasikan pada jalan rel bergigi.
Lokomotif diesel elektrik itu didatangkan sebanyak 17 buah pada tahun 1981, 1983 dan 1984 untuk menggantikan peran E10 60. Kecepatannya hampir dua kali lipat pendahulunya, sekitar 60 kilometer per jam.
Awalnya lokomotif ini juga bertugas untuk membawa batu bara dari Ombilin Sawahlunto ke Teluk Bayur. Setelah tambang batu bara berhenti beroperasi, banyak diantara lokomotif ini yang berhenti beroperasi. Namun, sebagian masih ditugaskan untuk menarik kereta penumpang kelas ekonomi, angkutan semen, dan kereta wisata.
Lokomotif itu diantaranya menarik gerbong penumpang K1 dan K3 buatan Nippon Sharyo angkatan tahun 1958 yang dibuat khusus untuk bisa melewati jalur Silaiang yang memiliki terowongan yang relatif sempit.
Manager Operasional, Fasilitas dan Angkutan Penumpang PT KAI Divre Sumbar, Roeslan, menyebut saat ini seluruh unit lokomotif BB204 dalam keadaan Tidak Siap Operasi (TSO).
Unit BB204 01 sampai BB204 17 kecuali BB204 15 dan BB204 16 bersama sembilan unit kereta penumpang K1 dan K3 buatan Nippon Sharyo angkatan tahun 1958 kini ditumpuk di halaman Balai Yasa Padang. Sedangkan untuk BB204 15 dan BB204 16 berada di Dipo lokomotif Solok.
Roeslan menyebut pihaknya masih berupaya untuk memperbaiki unit lokomotif tersebut agar bisa beroperasi kembali. Namun, tergantung juga pada kondisi rel di Kayu Tanam - Padangpanjang yang belum bisa digunakan.
Rel Gigi
Rel gigi (rack railway) adalah sistem rel pegunungan dengan rel bergigi khusus di atas bantalan rel yang terbentang. Satu roda gigi kereta api yang ditautkan dengan rel memungkinkan lokomotif membawa gerbong melalui lereng yang curam.
Perusahaan kereta api Hindia Belanda, Sumatra Staats Spoorwegen (SSS) terpaksa membangun sistem itu untuk mengatasi elevasi kemiringan medan di Sumbar yang mencapai 6-10 persen.
Rel gigi itu dibangun dari Kayu Tanam menuju Padangpanjang kemudian diteruskan ke Bukittinggi lalu ke Payakumbuh. Dari Padangpanjang hingga tambang batu bara Ombilin Sawahluto juga dipasangi rel gigi hingga ke Batu Taba.
Titik paling ekstrimnya adalah Silaiang. Bukan saja jalur kereta api, lokasi itu juga menjadi jalur ekstrim untuk jalan mobil, hingga saat ini dikenal dengan istilah Silaiang Kariang.
Tidak banyak jaringan kereta api yang menggunakan rel jenis itu di Indonesia. Tercatat hanya dua yaitu di Sumatera Barat dan di Kedung Jati. Saat ini rel gigi di Sumbar statusnya nonaktif.
Kondisinya cukup memprihatinkan karena sebagian besar telah ditumbuhi lumut dan semak-semak. Namun, jalur itu masih memungkinkan untuk diaktifkan kembali dengan perbaikan serius.
Sementara jalur kereta api Kedungjati–Secang di Jawa sudah resmi ditutup pada 1976 karena tidak ada lokomotif yang bisa digunakan. Jalur pegunungan itu awalnya dibangun untuk menghubungkan kawasan strategis militer Hindia Belanda di Kota Magelang dengan Benteng Willem I di Ambarawa, agar mobilitas tentara KNIL di kawasan tersebut lebih mudah.
Praktis saat ini, hanya ada satu rel gigi di Indonesia yang masih bisa dan memungkinkan untuk dioperasikan, yaitu di Sumbar sehingga nilai sejarahnya sangat tinggi dan sedapat-dapatnya tetap dilestarikan.
Terancam modernisasi
Keberadaan rel gigi dan lokomotif legendaris di Sumbar itu sekarang terancam oleh rencana pemerintah daerah bersama PT KAI untuk memodernisasi armada dalam kerangka reaktifasi jalur kereta api di Sumbar.
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menyatakan telah bertemu dengan Kementerian Perhubungan terkait pengaktifan kembali jalur kereta api di provinsi itu.
Solusi untuk jalur dengan medan berat yang sebelumnya menggunakan rel gigi, adalah metro kapsul yang lebih moderen dan mampu pula beroperasi di medan yang memiliki kemiringan cukup ekstrim.
Bantalan rel metro kapsul adalah karet yang prinsipnya sama dengan rel gigi, bisa menahan kereta di medan yang curam. Kereta model itu telah digunakan untuk komuter di Bandara Soekarno-Hatta.
Namun, rencana itu ditentang oleh pecinta kereta api di Sumbar yang tetap berkeinginan agar BB204 bisa beroperasi kembali.
Ketua Komunitas Pecinta Kereta Api Divre II Sumatera Barat (KPKD2SB) Anggi Andrian menyebut nilai sejarah BB204 tidak bisa digantikan oleh metro kapsul. Apalagi ia berkeyakinan, dengan cara "kanibal" setidaknya beberapa unit BB204 masih bisa beroperasi kembali.
Kereta yang aktif itu bisa digunakan untuk langsiran gerbong kereta khusus melewati jalur rel bergigi kemudian dilanjutkan oleh lokomotif yang lebih moderen.
Ditetapkannya bekas tambang batu bara di Ombilin, Sawahluto, sebagai warisan dunia dalam sesi Sidang ke-43 Komite Warisan Dunia UNESCO PBB di Gedung Pusat Kongres Baku di Baku, Azerbaijan, Sabtu (6/7) menjadi angin segar bagi pecinta kereta api di daerah itu.
Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto tidak ditetapkan hanya karena tambang saja, tetapi juga menyatu dengan jaringan rel yang melewati enam kabupaten dan kota di Sumbar, masing-masing Padang, Padang Panjang, Solok, Kabupaten Solok, Padang Pariaman, dan Tanah Datar.
Setidaknya itu bisa menjadi alasan yang tepat untuk bisa mempertahankan rel gigi dan lokomotif legendaris Ranah Minang agar tidak hanya tinggal sejarah dalam lembaran buku dan cerita orang-orang tua dari mulut ke mulut di lapau-lapau (kedai makan).*
Baca juga: Sawahlunto minta Kemenpar hidupkan loko kuno "Mak Itam"
Baca juga: Jalur kereta tertua di Sumbar "dibangkitkan" dari "kubur"
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019