Denpasar (ANTARA News) - Subak, organisasi pengairan tradisional dalam bidang pertanian di Bali mampu beradaptasi dengan teknologi modern dan kehadirannya tetap eksis hingga sekarang. Organisasi bidang pengairan yang diwarisi secara turun-temurun sejak sepuluh abad silam itu sangat berperan dalam memberikan pelayanan kepada petani yang menjadi anggotanya, kata Dr Ir I Wayan Windia, dosen jurusan sosial ekonomi pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana di Denpasar, Sabtu. Ia mengakui, subak dengan berbagai kendala dan kelemahan telah mampu memerankan sebagai suatu sistem irigasi yang berwatak sosiol budaya secara berkesinambungan. Namun dalam perkembangannya, kini subak menghadapi banyak tantangan, dan mengalami proses marjinalisasi, termasuk semakin tersisihkannya sektor pertanian. Perkembangan subak di Bali pada tahun 600 telah diketahui adanya kebudayaan pertanian lahan kering (parlak) dan lahan basah/sawah (huma). Sedangkan tahun 1072 telah ada subak sesuai hasil penelitian Goris pada (1954). Sistem pertanian lahan basah (sawah) sudah ada sebelum abad ke-11. Subak merupakan lembaga yang mengatur air ke sawah-sawah untuk pertanian, sistem irigasi yang baik, sangat efektif untuk memungut pajak tanah. Windia menambahkan, subak dalam perkembangannya, semasa Bali dalam naungan Kerajaan Majapahit, tahun 1343, diangkat petugas "sedahan" yang mengkoordinasikan beberapa subak dalam satu wilayah sumber air. Bagi lahan basah disebut Sedahan Yeh (Sedahan Tembuku atau Sedahan Tukad). Sedangkan untuk lahan kering disebut Sedahan Tegal atau Sedahan Abian. Pada tingkat daerah (wilayah kerajaan) para sedahan dikoordinasikan oleh Sedahan Agung. Subak memiliki berbagai kearifan (kecerdasan) lokal yang telah diwarisi masyarakat pendukungnya secara turun-temurun. Kearifan lokal tersebut antara lain memiliki sifat dasar sosio-kultural maupun sosio-religius yang unik dan unggul. Kearifan lokal dengan berbagai kecerdasan pada organisasi subak merupakan bagian dari kebudayaan. Kearifan lokal dalam organisasi subak berbasis konsepsi Tri Hita Karana dan mendapat apresiasi unirversal terkait dengan kandungan filosofi kosmos, theos, antropos, dan logos, yakni hubungan yang serasi dan harmonis sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan yang Maha Esa. "Esensi kearifan lokal adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa religiusitas, subyektivikasi manusia dan konstruksi penalaran yang berempati pada persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk `jagadhita` (alam raya) berkelanjutan," ujar Wayan Windia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008