Alih-alih melanjutkan karir ala generasi milenial sebagai 'YouTuber', dengan pendapatan yang bisa mencapai jutaan dolar AS per tahun, mereka mengambil resiko berhadapan dengan penegak hukum, bahkan ditangkap dan ditahan selama dua belas jam, untuk memperjuangkan keberlanjutan lingkungan.
Pada tahun 2011, Jackson 'Jack' Harries memulai karirnya sebagai seorang pembuat konten di platform YouTube. Saat itu, video blogger atau 'vlogger' seperti dirinya sudah mulai bermunculan, terutama di negara-negara barat seperti Inggris dan Amerika Serikat, namun belum begitu menjamur di Indonesia.
Dia membuka sebuah akun di YouTube guna mengisi waktu di tengah masa istirahat selama satu tahun sebelum memasuki bangku kuliah, atau yang sering disebut 'gap year', dan memberi nama akun YouTube nya 'JacksGap'.
Karir Jack sebagai seorang pembuat konten digital melonjak dengan cepat, bahkan video pertama yang dia unggah telah dilihat sebanyak 3,8 juta kali.
Popularitas yang kian menanjak tak hanya mendatangkan pengikut, namun juga ajakan kerja sama dari berbagai institusi, sehingga Jack menggandeng saudara kembarnya, Finnegan 'Finn' Harries, untuk ikut menjalankan akun itu.
Pada awal masa kejayaan akun JacksGap sekitar tahun 2012 hingga 2015, keduanya kerap membuat konten-konten menghibur dengan berbagai tema, mulai dari sketsa-sketsa komedi, musik, hingga video interaktif seolah mereka sedang berdialog dengan para pengikut di YouTube.
Berubah Arah
Kini, nama Jack dan Finn Harries lebih dikenal dengan upaya untuk menggaungkan kesadaran akan krisis iklim yang mereka sebut sebagai ancaman atas masa depan.
Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi BBC, Jack mengatakan, dalam empat tahun terakhir dirinya lebih fokus pada pembuatan film dokumenter, sesuai dengan minatnya di bidang tersebut.
Meski tak lagi membuat konten yang sama dari beberapa tahun yang lalu, dia masih mengunggah sejumlah film pendeknya ke akun YouTube yang kini bernama 'Jack Harries'.
"Salah satu film yang kali pertama saya garap adalah sebuah dokumenter pendek dari perjalanan saya ke Greendland (Tanah Hijau) bersama organisasi World Wild Fund (WWF) untuk melihat akibat dari gletser es yang meleleh di sana," katanya dalam wawancara itu.
Dia pun menyebut perjalanan itu telah membuka matanya akan isu perubahan iklim yang dianggap sebagai "masalah besar".
"Sebagai anak muda, saya sangat takut akan apa yang mungkin terjadi di masa depan saya nanti. Itulah mengapa saya melakukan apa yang saya yang lakukan," kata Jack Harries.
Dalam wawancara tersebut, Jack memberikan keterangan publik untuk pertama kalinya setelah dia diamankan oleh kepolisian London, atas aksi protes tanpa kekerasan yang dia lakukan bersama kelompok pegiat lingkungan Extinction Rebellion.
Dia, bersama delapan orang lainnya, ditangkap saat melakukan protes dengan menempelkan diri mereka ke sebuah gedung yang menjadi lokasi Konferensi Pekan Minyak Internasional (International Petroleum Week) di London.
Konferensi tersebut merupakan tempat pertemuan bagi para pemangku kepentingan sektor minyak dan gas. Acara itu pun menjadi salah satu target lokasi protes yang dilakukan oleh grup Extinction Rebellion.
"Ini adalah industri yang mementingkan profit yang bersifat sementara, mengorbankan kesehatan planet dan masa depan saya. Kita tahu suhu bumi terus meningkat, itu diakibatkan oleh pembakaran minyak fosil," ujarnya.
Meski demikian, dia mengaku niatnya untuk melakukan protes bukan untuk membuat sensasi dan ditangkap, bahkan dikurung selama beberapa jam.
"Tetapi sayangnya inilah resiko yang harus diambil demi mendorong pembicaraan terkait isu lingkungan," katanya.
Sementara itu, sang saudara kembar, Finn, juga tak kalah gencar berkampanye dan mendesak para pemangku kepentingan untuk mengambil langkah tegas dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.
Usai menempuh pendidikan dalam bidang arsitektur dan ilmu lingkungan di Parsons University di New York, Amerika Serikat, dia juga sering ikut melakukan protes bersama Extinction Rebellion.
"Keinginan saya untuk menyelamatkan lingkungan kembali muncul saat saya diminta untuk menggambar sebuah struktur yang dapat melindungi kota dari permukaan laut yang meninggi," kata Finn saat berbicara dalam seminar TED yang berjudul Pendekatan Kreatif Terhadap Perubahan Iklim (Creative Approach To Climate Change).
Dalam beberapa penampilan publik yang terpisah, Jack dan Finn mengungkap, saat mereka masih belia, keduanya kerap diajak oleh sang ibu untuk ikut berpartisipasi dalam aksi-aksi peduli lingkungan.
Inspirasi di Ubud
Jack dan Finn seringkali bepergian untuk membuat film, mempelajari tata arsitektur, dan terus mencari bukti-bukti nyata atas perubahan iklim.
Pada tahun 2017 lalu, keduanya mengunjungi beberapa negara di Asia, termasuk Jepang, Singapura dan Indonesia. Tak hanya untuk menikmati keindahan negara-negara tersebut, namun juga mempelajari langkah yang diambil untuk menghadapi pemanasan global.
Di Indonesia, salah satu tujuan utama saudara kembar berusia 26 tahun ini adalah Sekolah Hijau yang terletak di Ubud, Bali.
"Sekolah ini mengajarkan keberlanjutan, melalui pembelajaran yang terintegrasi dengan komunitas dalam lingkungan yang natural, indah dan tanpa tembok. Mereka sangat menginspirasi saya," tulis Jack dalam unggahannya bersama salah satu pengajar di sekolah tersebut.
Sementara bagi sang pelaku arsitektur, Finn, penggunaan bambu sebagai bahan bangunan utama di Sekolah Hijau menjadi sorotan utama dalam kunjungannya itu.
"Bahan alami ini memiliki kekuatan yang dapat bersaing dengan besi dan beton. Bambu adalah salah satu bahan konstruksi yang paling sustainable (berkelanjutan) di dunia," tulisnya dalam sebuah video berdurasi satu menit di akun Instagram TV nya.
Tak puas hanya melihat-lihat struktur bangunan, ia pun mengunjungi studio desain bambu yang merancang struktur Sekolah Hijau.
"Inovasi bahan adalah kunci dalam pembangunan kota yang berkelanjutan. Mungkin bambu memiliki potensial lebih besar dari yang kita pikirkan," katanya.
Musuh bersama
Meski tak lagi berkarir sebagai 'YouTuber', keduanya tak menampik kekuatan dan pengaruh besar yang dimiliki oleh platform-platform media sosial.
Karena itu, kampanye saudara kembar itu tak berhenti sampai depan gedung parlemen, jalan-jalan kota London, atau berbicara di depan peserta acara seminar saja, tetapi menjalar hingga aku media sosial mereka masing-masing yang juga memiliki jutaan pengikut.
Keduanya percaya masalah iklim tak hanya menjadi isu kelompok atau komunitas tertentu tertentu namun telah menjadi masalah yang harus dihadapi secara global.
"Perubahan iklim adalah musuh semua orang, dan menurut saya, tak ada yang dapat mempersatukan orang-orang seperti saat menghadapi musuh bersama. Kini tergantung kita, apakah kita mau melawannya," kata Jack Harries.
"Tanggung jawab untuk memastikan para pelaku politik menepati janjinya dan menjaga peningkatan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius jatuh pada generasi muda," tulis Finn Harries dalam sebuah artikel untuk media Inggris, The Guardian.
Baca juga: Pegiat iklim kacaukan kota Inggris dengan 'pemberontakan musim panas'
Baca juga: Miliki ratusan suku bangsa, RI diminta ketuai LCIPP Asia-Pasifik
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2019