Sebuah insiden K3 Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Keamanan) yang masif, dapat membuat organisasi perusahaan bangkrut lantaran menjual asetnya untuk membayar ganti rugi yang ditetapkan pengadilan. Skenario terburuk itu bukan isapan jempol semata, namun sangat mungkin terjadi jika aspek K3 tidak menjadi prioritas utama perhatian perusahaan.
Atas dasar itu, PLN, BUMN yang menjadi salah satu tulang punggung energi negeri ini, terus melakukan upaya peningkatan mutu pengelolaan K3LL atau yang biasa disingkat K3. Seperti yang dipaparkan oleh Antonius RT Artono, EVP Keselamatan, Kesehatan Kerja, Keamanan dan Lingkungan PLN.
"Kami menyadari vitalnya aspek K3, karena bagi kami karyawan dan dukungan masyarakat sekitar area operasional khususnya, ini adalah aset terpenting perusahaan. Jadi kami selalu berupaya untuk meningkatkan pengelolaan K3 agar aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lindung lingkungan terus terjaga," papar Anton, sapaannya.
Menurut Anton, penyebab dari kecelakaan kerja umumnya disebabkan oleh dua aspek, yakni unsafe action dan unsafe condition. Penyebab pertama umumnya karena pengabaian terhadap peralatan dan prosedur keselamatan dalam bekerja. Misalnya, pekerja lalai dalam memakai berbagai alat perlindungan diri (APD), seperti helm, rompi, sepatu bot, sarung tangan, dan sebagainya.
Sementara aspek kedua karena lingkungan kerja yang tidak aman seperti jalan licin, jalan berlubang, ataupun infrastruktur kerja yang kurang lengkap.
Kecelakaan kerja itu sendiri biasanya merupakan buah dari pengabaian terhadap puluhan kali insiden near miss, atau hampir celaka. "Sebenarnya kita harus aware kejadian-kejadian penyebabnya kalau ada hampir celaka," ujarnya.
Karena dari data statistik, yang bersumber dari Rasio Insiden Model, dalam Teori Heinrich’s, Departemen Tenaga Kerja dan Industri - Pennsylvania, dinyatakan, dalam satu kali kecelakaan kerja itu, sebetulnya sebelumnya diawali dari 30 kali jenis kecelakaan yang injury, yang mengkibatkan korban meninggal atau berakibat fatal menjadi satu kecelakaan. Ini apabila dilihat dari statistik, rata-rata seluruh dunia seperti itu.
"Satu orang meninggal itu, diawali dari 29 kali kejadian injury minor. Sedangkan sejumlah investigasi memperlihatkan, terjadinya 29 kali injury minor tersebut, sebenarnya diakibatkan (didahului) juga oleh 300 kali kecelakaan yang near miss," jelas Anton.
Sambil memperlihatkan data dalam infografis berikut ini, ia juga mengemukakan, persentase terbesar kecelakaan kerja (injury), adalah pada kondisi frekuensi sampai 3.000 kali, baik dalam bentuk tindakan yang unsafe, ataupun kondisi unsafe.
Target zero accident
Atas dasar itu, kemudian PLN membentuk road map atau peta jalan K3 dengan target zero accident di tahun 2023. Salah satu langkah dalam Road Map 2023 adalah membentuk organisasi K3 di unit-unit induk PLN pada tahun 2013. Adapun penyempurnaannya dilakukan pada tahun 2017 dengan pembentukan Manajer Pejabat K3, Pemangku Kepentingan K3 atau Pelaksana K3.
"Sebenarnya pada aspek keselamatan kerja itu hanya memerlukan pengawasan. Nah pengawasan yang paling murah dan paling efisien itu sebenarnya kepada diri setiap karyawan masing-masing. Sehingga tugas keselamatan kerja itu seharusnya bukan hanya tugasnya orang K3 semata, melainkan seluruh karyawan," urai Anton.
Demi memperkuat pengawasan K3 lantas dibentuklah Budaya K3 di tubuh PLN. Anton menjelaskan, terdapat jalinan hubungan antara budaya perusahaan dengan budaya K3. Budaya korporat sendiri merupakan elemen strategik, yang bersifat besar dan menyeluruh. Sementara budaya K3 adalah subkultur dari budaya korporat yang spesifik mencakup urusan keselamatan kerja.
"Karena itu, kami membangun budaya K3 di PLN dengan tiga values, yakni Peduli, Taat, Tanggap. Untuk melaksanakannya, saya mengumpulkan seluruh stakeholders K3 dari seluruh Indonesia di kantor pusat PLN ini," tuturnya.
Adapun indikator keberhasilan dari budaya K3 itu terdiri atas lagging indicator dari empat aspek, yakni Loss of Life, Loss of Production, Loss of Productivity, dan Loss of Asset.
"Sebagai contoh Loss of Life, jika ada karyawan yang meninggal, maka sebetulnya perusahaan kehilangan produktivitas, sehingga bisa dihitung berapa turunnya produktivitas akibat peristiwa tersebut. Kemudian Loss of Production, bisa saja kecelakaan kerja mengakibatkan produksinya berhenti atau bahkan asetnya rusak. Tahun ini lagging indicator keempat aspek ini mulai kita ukur di PLN," papar Anton.
Keempat indikator itu lantas dibuat indikator kinerja utama atau key performance indicators (KPI). Dengan demikian pengelolaan K3 di PLN terus dilakukan dengan cara bersinergi antar unit, mengukur pencapaian KPI lagging indicators, dan memperkuat budaya K3 di lingkungan PLN dan juga kontraktornya.
Tak ketinggalan PLN terus membangun kesadaran untuk saling mengingatkan dan fokus pencegahan terhadap K3 dalam menemukan dan menyelesaikan perihal unsafe condition dan unsafe action, istilah kami sebagai lindung lingkungan.
"Terus kita bikin juga Lesson Learned. Jadi setiap ada insiden baik yang near miss atau berdampak, kita share ke teman-teman melalui group chatting di perpesanan instan. Tujuannya apa? Supaya insiden di tempat yang satu, tidak terjadi di tempat yang lain," ungkap Anton.
Menerapkan berbagai upaya tersebut memang tak mudah. Terlebih PLN merupakan "kapal induk" dengan jenis dan area operasi yang sangat luas, baik dari aspek jenis bisnis, area pembangkitan transmisi, distribusi dan sebagainya. Meski demikian Anton yakin dengan upaya bersama dan keinginan untuk menjadikan organisasi yang lebih baik, maka terwujudnya zero accident di PLN pada tahun 2023 akan dapat tercapai.
Aspek K3 pada industri energi
Sementara itu, Raswari, Chairman Persatuan Insinyur Profesional Indonesia, sekaligus Deputy Chairman Oil Gas dan Energy KADIN Indonesia menjelaskan, dalam sebuah perusahaan energi seperti PLN, kondisinya sarat akan risiko kebakaran dan kerusakaan aset yang dapat berujung pada kecelakaan kerja yang menyebabkan kehilangan nyawa. "Dalam industri energi seperti PLN, aspek K3 harus sangat ketat pelaksanaan dan pengawasannya," jelasnya.
Raswari menilai, industri seperti PLN harus memperbanyak signage peringatan kewaspadaan maupun tanda bahaya di area operasional PLN yang berisiko tinggi. "Harus dibuat juga zona terlarang dan zona terbatas di mana hanya orang dengan identitas khusus saja yang bisa masuk. Jadi pengawasannya ketat," tutur Raswari.
Tak ketinggalan pengawasan pun harus disertai sanksi yang tegas agar timbul efek patuh dan jera. Dirinya memberi contoh seperti di industri minyak dan gas yang digelutinya, jika ada karyawan kilang LNG yang kedapatan membawa bawa korek dan rokok di sakunya saja, bisa diskors selama seminggu.
"Namanya juga tercatat di sistem komputer. Jika masih melanggar 2-3 kali maka langsung dipecat. Jadi sangat ketat dan tegas demi keselamatan kerja bersama," paparnya.
Sejumlah saran pun dipaparkan Raswari untuk penerapakan K3 yang holistik di PLN. Antara lain pemasangan CCTV di berbagai sudut organisasi dan lapangan agar pengawasan dapat berlangsung ketat dan luas. Selain itu PLN juga bisa membuat film singkat tentang SOP yang harus dipatuhi orang-orang yang akan masuk fasilitas produksinya. Film itu akan diperlihatkan kepada setiap pengunjung baru fasilitas produksi.
Tak lupa juga pengawasan di unit terkecil perusahaan di berbagai pelosok negeri juga harus disamakan skalanya dengan di unit induk yang besar. Hal ini lantaran kecelakaan kerap terjadi di fasilitas operasional yang terpencil. Berbagai upaya penerapakan K3 juga tak boleh lupa diterapkan untuk kontraktor PLN agar sama merata pelaksanaannya.
Terakhir Raswari menyarankan agar PLN mewajibkan profesionalnya untuk mengikuti sertifikasi kompetensi sesuai bidangnya masing-masing. Mengikuti sertifikasi kompetensi bisa dilakukan di PIPI atau lembaga profesi lainnya yang berwenang.
"Selain itu, sekarang era sertifikat kompetensi jadi agar pekerja PLN terukur semua senior engineer dan senior skill harus dibuatkan sertifikat melalui asosiasi profesi sehingga mereka betul betul profesional di setiap bidangnya. Dengan begitu dia bisa meminimalisir risiko karena betul-betul ahli dan ter-record pekerjaannya secara profesional,” jelasnya.
Untuk urusan sertifikasi profesi ini dipaparkan Raswari Indonesia memang cukup tertinggal. Di Negara ASEAN lainnya sudah lebih dari 65% profesional yang memegang sertifikasi profesi. Sementara di Indonesia baru 2% professional di perusahaan Indonesia yang memiliki sertifikasi kompetensi.
“Apalagi sekarang Presiden Jokowi menginstruksikan, program untuk Visi Indonesia adalah meningkatkan sumber daya manusia. Artinya, seluruh pegawai harus ditraining aspek technical dan manajemen. Jadi seluruhnya harus memiliki sertifikasi training agar profesionalitasnya teruji dan diakui,” papar Raswari.
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019