Brisbane (ANTARA News) - Presiden Timor Leste, Jose Ramos Horta, yang mengalami dua luka tembak dalam sebuah serangan di Dili 11 Februari lalu, telah meninggalkan Rumah Sakit Royal Darwin (RDH) Rabu. Namun ia belum bisa langsung pulang ke Dili. Horta masih harus tinggal di Darwin untuk beberapa pekan bagi proses penyembuhan, sebelum kembali ke Timor Leste. Setelah kesehatannnya membaik, Horta langsung memberi "seruan" untuk rakyat Timor Leste. Presiden Ramos Horta meminta seluruh rakyat Timor Leste untuk membangun dan menjaga perdamaian dengan meninggalkan aksi kekerasan. Seruan perdamaian sudah sekian kali ia sampaikan. Pada 3 Maret lalu, tokoh kelahiran 26 Desember 1949 dan peraih Nobel Perdamaian tahun 1996 ini bahkan sudah memaafkan Alfredo Reinado. Alfredo Reinado adalah pemimpin kelompok tentara yang membangkang. Ia tewas dalam insiden serangan di rumah Ramos Horta di Dili 11 Februari lalu. Tidak cukup sekadar memaafkan orang yang dituduh pemerintah Timor Leste bertanggungjawab atas upaya pembunuhan terhadap dirinya dan diri Perdana Menteri Xanana Gusmao, Presiden Ramos Horta juga meminta pemerintah mendukung keluarganya. Pesan damainya itu terasa relevan dengan kebutuhan mendasar Timor Leste akan rekonsiliasi nasional yang tak kunjung ada sejak resmi merdeka tahun 2002. Sebaliknya, yang terjadi di negara kecil itu adalah instabilitas sosial-ekonomi dan politik yang berkepanjangan. Insiden terhadap kedua pemimpin Timor Leste pada 11 Februari lalu itu hanya memperpanjang rangkaian aksi kekerasan di bekas provinsi ke-27 Indonesia itu. Sejak 2006, pertikaian demi pertikaian berdarah terjadi dan setidaknya telah menewaskan 37 orang, serta mengakibatkan 155 ribu warga mengungsi. Pemerintah Timor Leste sendiri tak mampu memulihkan keamanan dengan kekuatan sendiri dan tetap mengandalkan bantuan tentara asing. Australia yang sejak pecahnya krisis pasca pengumuman hasil jajak pendapat PBB tahun 1999 memainkan peranan dominan di Timor Leste. Perdana Menteri Kevin Rudd segera menunjukkan simpatinya dengan melakukan kunjungan singkat ke Dili empat hari setelah insiden serangan 11 Februari terjadi. Ia bahkan menyempatkan diri menjenguk Presiden Ramos Horta yang terbaring di RDH, Northern Territory, pada saat kondisinya masih "koma". PM Rudd menyebut Presiden Ramos Horta sebagai "seorang pejuang" dan ia berjanji kembali menjenguknya jika kondisi kesehatannya sudah mulai membaik. Dalam kunjungan singkatnya di Timor Leste 15 Februari itu, PM Rudd tidak hanya bertemu PM Xanana Gusmao tetapi juga pemimpin Partai Fretilin Mari Alkatiri. Ia dan PM Xanana Gusmao mendiskusikan perihal kerja sama kedua negara di bidang ekonomi, seperti pembangunan infrastruktur, penyediaan lapangan pekerjaan bagi para pemuda dan pembangunan perdesaan. Australia tampaknya menyadari pentingnya penyediaan lapangan kerja bagi para pemuda Timor Leste selain dukungan di bidang keamanan. Bagi PM Rudd, dukungan kepada Timor Leste akan senantiasa ada, baik di masa senang maupun susah. "Timor Leste adalah sahabat baik Australia." Australia menambah sedikitnya 270 personil tentara dan polisi untuk membantu pemulihan keamanan dan ketertiban di Timor Leste pascainsiden 11 Februari 2008. Dilema Australia Dilihat dari kebutuhan pemulihan keamanan di Timor Leste, peran Australia memberi kontribusi positif bagi pemerintah di Dili. Namun tetap bercokolnya tentara dan polisi Australia di negara itu, bisa membuat citra Australia di mata publik Timor Leste menjadi buruk. Pengamat masalah Timor Leste di Universitas Nasional Australia (ANU) Dr. George Quinn melihat posisi Australia saat ini dilematis karena rakyat Timor Leste sudah mulai bosan dengan kehadiran pasukan asing. "Untuk menjaga keamanan, kehadiran pasukan Australia memang positif tapi citra Australia di Timor Leste sudah tidak sebagus dulu. Orang-orang Timor Leste sudah mulai bosan dengan kehadiran pasukan asing di negaranya, bukan hanya pasukan asal Australia tetapi juga Portugal," katanya dalam sebuah wawancara dengan ANTARA 12 Februari lalu. Posisi Australia itu dilematis di tengah keinginannya yang kuat untuk membangun hubungan yang baik dengan masyarakat Timor Leste. Beberapa pertanda mulai bosannya rakyat Timor Leste dengan kehadiran pasukan asing itu bisa dilihat dari insiden caci maki, rakyat tidak lagi begitu bersemangat bekerja sama, serta terjadinya beberapa insiden tembak menembak dan bom kecil di depan markas pasukan "Stabilization Force" di Dili, katanya. "Ini pertanda masyarakat sudah lebih curiga dan tidak senang," kata George Quinn. Namun kalau personel keamanan PBB maupun pasukan asing tidak lagi ada di sana, gejolak baru dikhawatirkan akan timbul, katanya. Salah satu instabilitas yang tetap laten sejak Timor Leste merdeka dari PBB pada 20 Mei 2002 adalah kondisi sosial ekonomi rakyat yang belum membaik. Dalam hal ini, George Quinn melihat kondisi perekonomian rakyat di sana, khususnya mereka yang tinggal di daerah-daerah pedalaman, belum membaik karena pasar-pasar yang sempat dirusak pasukan Indonesia saat mundur tahun 1999 masih belum diperbaiki. "Saya sedih melihat kerusakan yang terjadi ketika Indonesia mundur dari Timur Leste tahun 1999. Banyak jalan, jembatan, dan gedung pasar yang dihancurkan belum diperbaiki padahal semua itu adalah prasarana penting untuk kehidupan rakyat di pedalaman." Di satu sisi, Indonesia bertanggungjawab terhadap kondisi ini tapi di sisi lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pemerintah Timor Leste tidak berbuat banyak, katanya. "Pemerintah Timor Leste tidak berbuat banyak di pedalaman, padahal Timor Leste tidak kurang duit," katanya. Dalam pandangan George Quinn, pemerintah Timor Leste tidak dapat mengabaikan kondisi ini supaya rakyat tidak patah semangat. "Di tahun 1990-an, saya sering kali berkunjung ke Provinsi Timor Timur. Kondisi ekonomi Timor Timur lebih bagus dulu dibandingkan sekarang. Pemerintah Timor Leste belum mampu mengangkat derajat ekonomi rakyatnya sebagus Indonesia tahun 1990-an dulu." Banyak masalah yang terkait dengan perekonomian rakyat memerlukan penanganan segera, termasuk nasib puluhan ribu orang korban pertikaian berdarah tahun 2006 yang masih tinggal di barak-barak pengungsian di sekitar kota Dili. "Saya tiga kali ke Dili sepanjang tahun 2006 dan 2007. Saya keluar masuk barak-barak pengungsian yang banyak dijumpai di kota Dili, termasuk di depan Bandar Udara Internasional Dili," kata George Quinn. Masalah pengungsi ini merupakan persoalan yang harus segera diselesaikan pemerintah Timor Leste karena tidak sedikit dari para pengungsi itu enggan dipulangkan karena mereka masih takut. "Sebagian besar pengungsi yang pernah tinggal di Dili adalah para warga yang berasal dari bagian timur Timor Leste. Sampai sekarang masih banyak yang masih mendekam di kamp," kataya. Kesulitan internalSelain masalah pengungsi, persoalan lain yang juga penting untuk diperhatikan pemerintah, menurut George Quinn, adalah masih banyaknya mahasiswa Timor Leste yang tidak bisa kuliah. Macetnya perkuliahan banyak mahasiswa itu disebabkan kampus mereka terletak di daerah yang dikuasai "orang-orang sebelah barat". Adanya semacam garis pemisah antara kelompok masyarakat yang berasal dari timur dan barat itu merupakan masalah pelik dalam jagad politik negara itu. Negara yang resmi merdeka pada 20 Mei 2002 itu dihuni belasan etnis. Di bagian barat, sebagian besar warganya berasal dari suku Mambai dan di wilayah timur sebagian besar suku Fataluku. Dilihat dari potensi pendapatan ekonomi, Timor Leste sebenarnya merupakan negara dengan pendapatan yang cukup bagus karena ditopang sumber pendapatan dari minyak bumi di Celah Timor. Pendapatan dari sektor minyak ini disetorkan kepada apa yang disebut "Petroleum Fund" di Amerika Serikat. Di masa pemerintahan Perdana Menteri Mari Alkatiri, pendapatan Timor Leste dari minyak bumi itu dimasukkan ke dalam rekening di Petroleum Fund dan negara hidup dari pendapatan bunga simpanan di Petroleum Fund tersebut, katanya. "Mari Alkatiri tidak ingin pendapatan negara ini diboros-boroskan pemakaiannya. Dan, parlemen Timor Leste sudah mengeluarkan undang-undang yang melarang pemerintah mengambil uang dari Petroleum Fund jika sampai mengurangi modal pokok. Artinya, Timor Leste hidup dari pendapatan bunga," katanya. Dilihat dari sumber pendapatan ini, Timor Leste memiliki prospek yang cerah untuk menjadi sebuah negara kecil yang maju dan kemajuannya bahkan bisa melebihi Brunei Darussalam dalam 50 tahun ke depan. Bahkan, para ahli menduga cadangan minyak Timor Leste baru akan berkurang dalam 20-25 tahun ke depan. Dengan harga minyak dunia yang terus naik, George Quinn yakin bahwa sekalipun cadangan minyak Timor Leste berkurang, pendapatan negara itu dari minyak bumi tetap saja tinggi. Dengan anugerah Tuhan yang besar untuk rakyat Timor Leste itu, tampaknya tidak terlalu sulit bagi mereka untuk berbenah diri untuk mulai melangkah maju. Pesan perdamaian yang kembali disampaikan Presiden Ramos Horta semakin relevan dengan kebutuhan rakyat Timor Leste yang ingin segera keluar dari kubang kemiskinan dan pertikaian yang tak berkesudahan. Dunia pun menanti kebangkitan baru Timor Leste itu. (*)

Oleh Oleh Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2008