"Pihak pemohon dan termohon (KPU) itu tiga saksi, kalau pihak terkait kami batasi satu saksi saja," jelas juru bicara MK I Dewa Gede Palguna di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin.
Baca juga: MK tidak lanjutkan 14 perkara PHPU Legislatif enam provinsi
Baca juga: Sidang Pileg - MK gelar sidang PHPU Legislatif untuk 11 provinsi
Baca juga: Sidang Pileg, KPU jawab dalil pemohon PHPU Legislatif Jawa Barat
Tidak hanya saksi, Mahkamah juga membatasi ahli yang akan dihadirkan yaitu satu ahli untuk masing-masing pihak.
Namun Palguna mempertanyakan apa yang akan diterangkan oleh ahli dalam PHPU Legislatif, mengingat perkara PHPU Legislatif terkait angka-angka dalam perolehan suara.
"Maka kami sering bergurau bila ada pihak yang ingin mengajukan ahli itu memang hak dan kami tidak bisa melarang. Tapi kalau soal menghitung angka-angka, kecuali curiga bahwa nilai matematika hakim konstitusi itu lemah sekali ya boleh lah," ujar Palguna sambil tertawa.
Palguna kemudian menjelaskan bahwa dalam konteks perkara konstitusi berbeda dengan perkara pidana, dimana bukti berupa dokumen lebih diutamakan dalam perkara konstitusi termasuk perkara PHPU.
Sementara saksi dalam perkara konstitusi dinilai sebagai bukti sekunder sehingga dianggap menjadi tambahan untuk menguatkan bukti dokumen yang ada.
Lebih lanjut Palguna mengingatkan bahwa penanganan perkara sengketa Pemilu bersifat "speedy trial", sehingga seharusnya tidak terlalu memerlukan saksi dan ahli terutama bila terkait perhitungan suara.
"Kecuali ada hal-hal lain di luar itu misalnya satu hal yang bisa mempengaruhi jumlah suara yang tidak masuk kerangka penghitungan seperti tadi itu," jelas Palguna.
Palguna mencontohkan bila ada perkara dengan putusan atau rekomendasi Bawaslu yang belum sempat dilaksanakan, kemudian hal itu dibenarkan namun perkaranya sudah terlanjur dibawa ke Mahkamah.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019