Jakarta (ANTARA News) - Indonesia rugi karena tidak gencar mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) sehingga kehilangan kesempatan mendapat kredit karbon yang telah ditebarkan kepada PLTP di Indonesia pada Desember 2007."Saya prihatin kredit karbon PLTP di Indonesia jatuh ke perusahaan besar investasi asing seperti Chevron yang mendapat 124 juta dollar AS untuk proyek Darajat-3," kata praktisi PLTP Dirut PT Rekayasa Industri Triharyo Soesilo pada Seminar Strategi Penyediaan Listrik Jangka Panjang untuk Sistem Jawa-Bali di Jakarta, Rabu. Padahal investasi Chevron dalam pengeboran sebesar 30 juta dolar AS dan investasi pembangkit serta sistem perpipaan 84 juta dolar AS sehingga belum beroperasi pun sudah untung 10 juta dollar, ujarnya. "Jadi ini kebodohan kita menjual kesempatan mengolah panas bumi ke asing yang pintar melihat peluang dalam proyek CDM (Mekanisme Pembangunan Bersih), seolah rakyat Garut memberi subsidi ke perusahaan AS, padahal sumber daya dan tenaga kerjanya putera dalam negeri," katanya. Ia mengatakan berinvestasi dalam PLTP sekarang ini sudah tidak lagi sulit dan cukup menguntungkan, sehingga sangat disayangkan jika PLTP masih saja tak diminati investor dalam negeri. Biaya investasi PLTP sekarang ini sudah sebanding dengan investasi PLTU yang sekitar 800 dollar AS per kW, bahkan biaya operasi PLTP hanya 20 persen daripada PLT Diesel dan hanya membutuhkan sangat sedikit bahan bakar yakni 2,25 sen dollar per kWh, sedangkan PLTD membutuhkan 10,5 sen per kWh. Cadangan panas bumi di Jawa-Bali, ujarnya, mencapai 9.253 MW atau ekuivalen dengan 388.626 barrel minyak per hari dan merupakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan yang memudahkan seperti PP no 57 pada November 2007 tentang kepemilikan Wilayah Kerja Pertambangan panas bumi dan juga bebas bea masuk bagi investasi di bidang PLTP, ujarnya. Sementara itu Deputi Kepala BPPT bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material Marzan Aziz Iskandar mengatakan PLTP kenyataannya memerlukan investasi sangat besar dengan resiko gagal yang juga besar sehingga investor dalam negeri yang berminat sangat minim. "Kecuali biaya studi dan eksplorasi panas buminya dibebankan ke pemerintah, baru bisa kompetitif dibanding PLTU batubara," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008