Jakarta (ANTARA News) - Desakan agar Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara dari Bukan Pajak (PNBP) berupa izin kegiatan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung, dilengkapi dengan mekanisme penyewaan hutan lindung oleh publik - non perusahaan tambang, terus bergulir. "Saat ini banyak orang yang menolak PP No. 2/2008," kata Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Walhi, kepada ANTARA, di Jakarta, Selasa. Menurut data Walhi, sekitar 3.000-an orang telah menyatakan komitmen mereka menolak kebijakan penyewaan lahan hutan lindung oleh perusahaan tambang, karena dampak kerusakan aktifitas pertambangan sangatlah masif. "Pertama kami tentu saja meminta agar PP itu dicabut, tapi kalau pemerintah tidak mau mencabutnya, maka kami mendesak agar disediakan mekanisme penyewaan oleh publik," katanya. "Namun saat ini tidak ada mekanisme pembayaran uang sewa, selain dari perusahaan pertambangan," tambahnya. "Karena belum ada mekanisme penyewaan oleh publik, sampai sekarang kami meminta agar dana tetap dipegang oleh masing-masing individu," ujarnya. Itu sebabnya Walhi dan berbagai LSM yang bergerak di isu lingkungan hidup mendesak agar bila pemerintah juga menyediakan mekanisme penyewaan lahan hutan lindung oleh publik, ujar Chalid. "Masyarakat berkomitmen menyetorkan dana secara variatif hingga total sekitar 34 miliar rupiah, dan bila dikonversikan ke luasan lahan yang akan diselamatkan dari kerusakaan aktifitas pertambangan, maka dana tersebut mencakup lahan seluas 11.000-an hektare," demikian Chalid. (*)

Copyright © ANTARA 2008