Dakar (ANTARA News) - Tidak di Jakarta, tidak di Teheran, ternyata kemacetan menjadi masalah pelik. Hal itu dialami pula oleh anggota rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melawat ke Iran pada 10-12 Maret lalu.Kemacetan Teheran membuat kening "berkerut" bahkan bagi warga Jakarta sekalipun, yang hampir saban hari terjebak kemacetan panjang di ruas-ruas jalan utama."Di Teheran orang jakarta harus harus lebih sabar lagi," kata salah seorang delegasi Indonesia. Kemacetan yang melanda Teheran terjadi hampir setiap saat di hampir setiap ruas jalan utama, sekalipun sebenarnya infrastruktur jalan sangat memadai, panjang jalan raya lebih dari 280 kilometer. Mobil-mobil berdebu tebal --Teheran sangat kering sehingga mobil sangat mudah berdebu-- berjalan saling merapat di kota yang terletak di kaki pegunungan Alborz itu, bergerak satu meter demi satu meter menembus kota Teheran yang bersuhu 10-14 derajad itu. Selain kemacetan luar biasa yang terjadi, warga Teheran tampaknya juga memiliki budaya berlalu lintas yang lebih buruk ketimbang masyarakat Jakarta. Mobil-mobil di Teheran dapat seenaknya menyerobot dan memeotong jalan, sehingga tidak heran jika acapkali pengemudi harus menekan pedal rem dalam-dalam untuk menghindari tabrakan dengan mobil yang tiba-tiba membelok mendadak. Budaya berlalu lintas seperti itu tampaknya yang membuat sebagian besar mobil di Iran sekalipun berasal dari merek ternama dunia tapi penuh goresan bekas benturan. Warga Teheran sudah saling mafhum jika badan mobil mereka tergores mobil lain. Buktinya jika terjadi serempetan jarang sekali terjadi bentrokan. Para pengemudi hanya membuka kaca jendela dan saling melambai kemudian berlalu tanpa rasa marah atau sumpah serapah. Selain masalah kemacetan, sebagian warga Teheran yang menggunakan taxi juga terkadang tidak menunggu di trotoar tapi berdiri di badan jalan tanpa takut tersambar mobil yang lewat. Bagi para pendatang mengemudi di Teheran tampaknya memang harus ekstra hati-hati dan sabar menghadapi persaingan ketat merebutkan jalur jalanan. Selain budaya berlalu-lintas yang buruk, penyebab utama kemacetan adalah rendahnya fasilitas transportasi publik. Bus dan kereta api (metro) tidak menjangkau seluruh bagian kota sehingga kebanyakan warga Teheran lebih suka menggunakan mobil pribadi atau taksi. Dakar Berbeda dengan Teheran yang selalu macet maka jalanan Kota Dakar, Senegal sangat lapang dan luas. Jalan utama yang menghubungkan pelabuhan Kota Dakar ke Hotel Le Meridien-President tempat berlangsungnya KTT ke-11 OKI tampak masih baru dan kosong. Angkutan umum yang melintas dapat dihitung dengan sebelah jari tangan. Selebihnya hanya mobil-mobil pribadi yang melintas, taxi pun jumlahnya sangat minim. Penduduk Dakar tampaknya lebih suka berjalan kaki. Di sepanjang jalan selalu mudah ditemui orang-orang yang sedang berjalan kaki. Pedestrian Kota Dakar tidak seluruhnya dipenuhi pedagang kaki lima sehingga nyaman bagi para pejalan kaki. Selain jalan kaki, warga Dakar juga senang sekali berolah raga, hampir setiap waktu --tidak peduli di panas terik matahari tengah hari-- banyak ditemui orang-orang yang memanfaatkan sarana latihan olah raga yang berada di sepanjang pantai. Akibat jalanan yang lengang nan mulus itu maka pengemudi di Dakar senang sekali memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Kebiasaan yang tentu saja sangat berbahaya. Mobil yang membawa rombongan wartawan yang meliput kegiatan Presiden di Dakar sempat hampir bertabrakan dengan mobil lain di seberang Istana presiden Senegal. Namun, sekalipun ratusan kilo meter jauhnya dari Teheran, warga dua kota ini memiliki satu kesamaan, yaitu tidak pernah perang mulut jika terjadi tabrakan kecil dengan sesama mobil di jalanan. Para pengemudi di Dakar juga hanya saling membuka kaca mobil dan melambai ketika hal itu terjadi. Sekalipun biasa mengemudi dengan kecepatan tinggi, hampir seluruh pengemudi sangat berkonsentrasi dengan jalanan di hadapannya. Mereka selalu menghentikan mobil dan menepi jika harus menerima telepon atau sms dan baru melanjutkan perjalanan setelah selesai menelpon. Kebiasaan ini jauh berbeda dengan di Jakarta, yang sebagian besar warganya sering kedapatan tengah menelpon sambil mengemudi. Satu hal lagi yang menyamakan Teheran dan Dakar adalah minimnya jumlah kendaraan beroda dua, sangat jarang menemukan orang yang mengenakan motor di ruas-ruas jalan utama kedua kota itu. Mungkin tidak ada kebiasaan menggunakan motor di negeri itu.(*)

Oleh Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008