Bogor (ANTARA News) - Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memiliki andil dalam upaya melakukan "asingisasi" aset bangsa, termasuk swastanisasi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
"Upaya itu dilakukan melalui letter of intent (LoI) berikut paket kerjasama Indonesia dan IMF yang menjadikan utang sebagai perangkap, untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengarah kepada privatisasi aset kepemilikan umum oleh pihak swasta," kata mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munarman, SH, melalui siaran pers dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Senin.
Pernyataan itu disampaikan dalam diskusi publik bertema "Konspirasi Asing Dibalik Restrukturisasi PLN" yang diselenggarakan Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) Al Asyjar, Fakultas Kehutanan, IPB dan Gerakan Mahasiswa Pembebasan Komisariat IPB.
Narasumber lain yang dihadirkan adalah Ketua Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT PLN Pusat, Ir Ahmad Daryoko dan Ketua Gerakan Mahasiswa Pembebasan Pusat, Muthohar Jamil, S.TP.
Menurut dia, dampak dari kondisi itu, harga atau biaya kepemilikan umum yang seharusnya didapatkan rakyat dengan harga murah atau bahkan bisa gratis, kini harus dibayar mahal.
Sementara itu, Ketua Gerakan Mahasiswa Pembebasan Pusat, Muthohar Jamil menyatakan, agama Islam membuat pengaturan jelas dalam mendistribusikan sumberdaya energi, sebab politik energi harus mengarah kepada pemenuhan kebutuhan energi setiap individu dalam suatu negara.
"Setiap rakyat berserikat dalam tiga hal yaitu energi (api), padang rumput (tumbuh-tumbuhan) dan air," katanya.
Ia memberi rujukan di negara Kuba yang berhaluan sosialis, sekalipun dalam kondisi diisolasi oleh negara Eropa dan Amerika, namun masih mampu mengupayakan pemenuhan kebutuhan energi masyarakatnya.
Dalam kesempatan itu, Ketua DPP Serikat Pekerja PLN Pusat, Ahmad Daryoko mengungkapkan bahwa setiap tahun PLN merugi dan dianggap membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Kondisi ini disebabkan beberapa faktor, antara lain kesenjangan biaya produksi dan harga jual, inefisiensi sistemik akibat regulasi pemerintah terkait penggunaan bahan bakar minyak, dan permasalahan manajemen sumberdaya manusia.
Ia mengatakan, pembangkit listrik milik PLN menggunakan sumber bahan dasar minyak yang dibeli dari PT Pertamina dengan harga komersiil bukan subsidi, dan listrik yang dihasilkan lalu dijual kepada masyarakat disesuaikan "kantong tipis" masyarakat, dan ditambah lagi, regulasi pemerintah menetapkan penggunaan pembangkit bertenaga minyak.
Padahal, kata dia, pembangkit listrik berbahan bakar minyak lebih mahal biaya produksinya dibanding gas. "Wajar PLN rugi. Kalau saja memilih menggunakan bahan bakar gas, pemerintah menghemat Rp26 triliun per tahun," katanya.
Menurut dia, selama ini gas Indonesia lebih banyak diekspor ketimbang memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
Dalam kondisi dilematis (unblunding) saat ini, kata dia, pemerintah berencana melakukan swastanisasi yang berujung pada profitisasi, privatisasi, dan divestasi di tubuh PLN. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008