Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo yang menyatakan ada menteri muda dalam kabinet Kerja II justru dinilai oleh akademisi dari Universitas Pertamina Jakarta riskan akan berbenturan dengan birokrasi yang ada.
“Sang menteri ini akan berbenturan dengan birokrasi. Birokrasi inikan tidak peduli seseorang muda atau tidak,” kata akademisi dari Universitas Pertamina Jakarta Rusdi J. Abbas di Jakarta, Jumat.
Menurut Abbas, kehadiran menteri muda yang kreatif, inovatif, serta energik belum tentu bisa menggerakkan kementerian secara singkat dan cepat, menyusul dengan negara yang juga harus bergerak cepat demi revolusi industri 4.0. Karena selama ini pemerintahan telah memiliki birokrasinya sendiri.
“Kalau dikatakan bahwa orang muda itu bisa mengeluarkan energi yang bisa menggerakkan mesin di kementerian seperti menggerakkan gerak tubuhnya, saya pikir itu tidak. Itu akan tidak jalan juga mesinnya sebenarnya ketika sang menteri yang muda ini tidak paham bagaimana menggerakkan birokrasi,” jelas Abbas.
Dosen Universitas Pertamina lainnya, Indra Kusumawardhana, mengatakan bahwa ada hal-hal yang harus diperhatikan ketika ada sosok muda menjadi menteri.
Kehadiran menteri muda, katanya, juga tidak secara sederhana dapat menciptakan pemerintahan yang cepat dan progresif.
“Kalau dibilang menteri muda itu bisa menghadirkan suatu pemerintahan yang cepat itu ya tidak akan sesederhana itu. Karena sesuatu yang cepat itu harus berhadapan dengan suatu proses yang sudah menjadi ciri dari birokrasi,” kata Indra.
Indra juga berpendapat bahwa kecepatan saja tidak cukup untuk memimpin suatu kementerian, tapi juga harus cerdik sehingga agenda negara dapat terus berjalan dengan semestinya.
“Jadi cepat saja tidak cukup, tapi harus cerdik, harus memiliki kesabaran juga untuk berinteraksi dengan begitu banyak hal dengan kepentingan-kepentingan yang ada dalam lingkaran kekuasaan. Kalau hanya mengandalkan kecepatan dari seseorang yang muda tapi kapasitasnya belum pernah punya pengalaman berada di dalam jabatan publik, malah bisa-bisa agenda strategis itu bisa tidak tercapai,” jelas Indra.
Dia mengatakan bahwa menteri muda seharusnya juga paham hal teknis di kementeriannya bukan hanya paham mengenai politik saja, tapi juga paham mengenai hal-hal teknis di institusi yang dipimpin.
“Kalau misalnya ada menteri muda yang berasal dari partai, ya mungkin komunikasi antara eksekutif dan legislatif bisa sangat terbantu. Tapi perlu dilihat lagi apakah menteri muda ini cocok memimpin institusi yang dipimpin sesuai dengan tupoksinya masing-masing,” jelas Indra.
Indra juga meyakini bahwa Presiden Jokowi pasti akan memikirkan persoalan ini secara matang beserta risiko-risiko yang mungkin dihadapi nantinya.
Pandangan dua dosen ini berbeda dengan penilaian para mahasiswanya dan milenial lainnya yang justru menyambut baik rencana adanya menteri muda dalam kabinet Pemerintahan Joko Widodo periode kedua.
“Saya sepakat jika Pemerintah akan merekrut menteri muda. Berkaca dari kemenpora Malaysia yang benar-benar diisi oleh generasi muda, jadinya kebijakan yang ditetapkan juga tahu dan paham,” kata Heri Kurniawan yang merupakan seorang Duta Genre Jakarta 2018.
Namun dia juga sadar bahwa jika nantinya Pemerintah akan merekrut menteri muda, tentunya tetap harus memiliki kemampuan dan paham betul dengan tugas yang akan dijalani karena itu bukan suatu tugas yang mudah.
Menurut Heri, Pemerintah juga harus memerhatikan apakah calon menteri muda itu memiliki kapasitas dalam memegang jabatan kementerian nantinya.
“Balik lagi pada kapasitas seseorang tersebut, apa dia mumpuni apa gak. Kalau dia memang tidak mumpuni ya tidak usah, dibanding anak muda ini sebagai ikon doang tapi dia tidak punya kapasitas kerja,” jelas Heri.
Putri Lisa Erdiyanti, seorang Mojang Jawa Barat 2018 juga turut mendukung gagasan yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi. “Saya sangat setuju ya. Menurut saya pemuda pemudi Indonesia harus terjun langsung dan mendedikasikan dirinya untuk membawa perubahan pada negeri,” kata Lisa.
Terkait menteri muda, para milenial umumnya akan mengacu pada Syed Saddiq yang terbukti dapat menjadi seorang Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia di usianya yang ke 26 tahun.
Melalui gagasan ini pula, Lisa melihat bahwa adanya menteri muda akan mampu lebih menarik minat masyarakat terhadap dunia politik, bahkan sudah banyak kalangan milenial yang saat ini menjadi aktivis ataupun politikus muda.
“Tentu saja akan menarik minat generasi muda dan sudah banyak sih rekan-rekan saya yang memang aktif sebagai aktivis dan politikus muda. Contohnya saja waktu lagi masalah Pemilu 2019, banyak opini publik, isu-isu negatif, hate speech di mana-mana lewat sosmed. Lalu rekan-rekan saya itu membantu dalam mengubah mindset dan perspektif mereka,” jelas Lisa.
Azis Nugraha, salah satu mahasiswa dari Universitas Pertamina setuju dengan menteri dari anak muda, tetapi harus visioner dan memiliki program yang jelas.
"Baik itu menteri yang muda atau tidak, asalkan bagus selama melaksanakan program-program yang ada,” kata Azis.
Dalam pandangannya, Azis juga menyinggung mengenai bonus demografi yang akan didapatkan Indonesia pada tahun 2030 mendatang, sehingga perlu disiapkannya dari sekarang.
“Terlebih tahun 2030 akan ada bonus demografi, pasti usia produktif membludak. Pemerintah harus mampu memperhatikan milenial, kalau semisalnya generasi muda saat ini tidak dipersiapkan dengan baik maka nanti ketika terjadi bonus demografi justru bisa jadi bencana demografi karena bekal yang tidak siap,” jelas Azis.
Pewarta: Joko Susilo dan Yundira Putri
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019