Singapura (ANTARA News) - Harga minyak yang naik gila-gilaan, meroketnya harga pangan dan melemahnya ekonomi AS akan melukai prospek pertumbuhan ekonomi Asia-Pasifik pada tahun ini dan menciptakan berbagai masalah sosial, terutama di kalangan penduduk miskin, para analis menyatakan. Harga minyak menyentuh rekor yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 111 dolar per barel pekan lalu, dan para analis mengemukakan mereka memperkirakan harga akan terus bergejolak. Kenaikan harga minyak belakangan ini, melambatnya ekonomi AS, gejolak pasar finansial global dan menghebatnya inflasi akan menciptakan kombinasi yang kuat yang akan mengekang pertumbuhan ekonomi Asia yang berorientasi ekspor pada 2008, ujar para ekonom. Dibandingkan dengan goncangan minyak pada dasawarsa 1970 dan 1980-an, kenaikan harga saat ini berlangsung di tengah pelemahan tajam yang terjadi di AS, kata Cyn-Young Park, seorang ekonom terkemuka di Bank Pembangunan Asia (ADB) di Manila. Inflasi, yang dipicu oleh membumbungnya biaya energi dan harga pangan, juga semakin memperumit masalah itu, karena inflasi tinggi membatasi gerak bagi dilakukannya manuver di kalangan pembuat kebijakan, katanya. Berbagai langkah untuk menerapkan kembali subsidi guna membantu rakyat miskin kemungkinan akan berdampak buruk, karena tindakan tersebut mengikis keuangan negara, imbuhnya. "Pada saat ini, harga minyak meningkat di tengah lingkungan eksternal yang sedikit kurang menguntungkan bagi Asia. Para mitra dagang utama kawasan itu, terutama AS, sedang mengalami pelambatan," kata Park kepada AFP lewat telpon dari Manila. "Kami memperkirakan terjadinya pelambatan yang tajam di AS. Dengan permintaan eksternal (bagi ekspor) lemah dan harga minyak dan komoditas lainnya meningkat, tentu, semua itu akan memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi." Efek tingginya harga minyak, melambatnya ekonomi AS dan membumbungnya inflasi akan menjadi menjadi faktor menentukan dalam prospek ekonomi ADB yang akan dirilis bulan depan, kata Park. Reformasi pasar dan efisiensi energi Singapura, negara Asia Tenggara dengan ekonomi paling maju, juga sudah menurunkan prediksi pertumbuhannya untuk tahun ini. Bank Indonesia, bank sentral, pada bulan ini menurunkan prediksi pertumbuhan produk domestik kotornya (PDB) untuk kuartal pertama menjadi 6,2 persen dari 6,5 persen. Ekonomi Asia sangat tergantung pada perdagangan dan karena itu rentan terhadap berbagai masalah di ekonomi AS. Namun demikian, karena harga minyak yang tinggi kemungkinan akan terus bertahan dalam w ktu lama, ekonom ADB itu mendesak para pemerintah di Asia agar "bekerja keras" bagi dilakukannya perombakan pasar energi, efisiensi energi dan pencarian sumber bahan bakar alternatif. Subsidi hanya efektif jika kenaikan harga minyak hanya berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu lama, kata Park. (*)
Copyright © ANTARA 2008