Daya saing perikanan asal Indonesia belum mampu menyumbang produk olahan di pasar global di tengah perang dagang antara AS dan China
Jakarta (ANTARA) - Fenomena perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Indonesia bila produk nasional yang dihasilkan di dalam negeri berkualitas dan berdaya saing tinggi di tingkat mancanegara.
"Sepanjang Indonesia tidak mengalami kesulitan berarti dalam berdagang dengan AS dan China, peluangnya (memanfaatkan fenomena perang dagang) tetap terbuka," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Abdul Halim mencontohkan untuk sektor kelautan dan perikanan, maka ia sepakat bahwa produk yang harus diekspor adalah produk olahan yang berkualitas, dan bukan hanya mengandalkan ekspor ikan mentah semata.
Namun, menurut dia, apabila Indonesia levelnya masih ketergantungan tinggi terhadap ekspor bahan mentah yang tidak diolah dengan berkualitas, maka dampak memanfaatkan peluang perang dagang tidak berarti.
"Daya saing perikanan asal Indonesia belum mampu menyumbang produk olahan di pasar global di tengah perang dagang antara AS dan China," katanya.
Ia berpendapat bahwa dengan melakukan pengolahan terhadap produk domestik, maka nilai tambahnya akan jauh lebih diterima di dalam mata rantai internasional.
Sebelumnya, Staf Khusus Presiden bidang ekonomi, Ahmad Erani Yustika menyatakan bahwa perluasan ekspor harus dilakukan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita dan jajarannya karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan peningkatan ekspor itu, utamanya dengan China.
"Presiden ingin kinerja perdagangan diperbaiki, baik dengan jalan meningkatkan ekspor ke negara tradisional maupun nontradisional dan mengendalikan impor, salah satunya dengan cara menginisiasi industri substitusi impor," kata Erani.
Erani melanjutkan, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sudah memacu ekspor dengan memperluas pasar.
Langkah tersebut sedikit banyak sudah membuahkan hasil, dimana tahun lalu, ekspor Indonesia naik ke negara-negara nontradisional, seperti Bangladesh (15,9 persen), Turki (10,4 persen), Myanmar (17,3 persen), Kanada (9,0 persen), dan Selandia Baru (16,8 persen).
"Tahun ini, pemerintah fokus ke pasar Afrika, dengan menandatangani 12 perjanjian. Tiga di antaranya merupakan target pasar baru (sejak 2018), yakni Mozambik, Tunisia, dan Maroko," katanya.
Selain dengan beberapa negara di Afrika, pemerintah juga memacu perdagangan dengan Iran dan Turki. Kemudian memacu kinerja sektor industri. Peranan produk industri terhadap nilai ekspor semakin meningkat dan mencapai di atas 70 persen pada 2018.
"Agar terus meningkat, Kementerian Perindustrian sebagai anggota Komite Penugasan Khusus Ekspor (KPKE) mendorong dari sisi pembiayaan lewat Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)," katanya.
Baca juga: Sri Mulyani: Risiko Indonesia lebih kecil terdampak perang dagang
Baca juga: Pengamat: peluang Indonesia manfaatkan perang dagang AS-China kecil
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019