... pas masuk ini langsung kayak kenapa baru tahu sekarang, kenapa tidak dari dulu kan bisa mempelajari budaya-budaya Indonesia...

Jakarta (ANTARA) - Pagar usang berwarna hijau kecokelatan yang menjadi sandaran rerumputan liar belukar serta suasana tua tak terurus sangat terasa di lahan bekas Bandara Internasional Kemayoran, Jakarta Pusat.

Gedung kusam yang dikelilingi bangunan beton menjulang gagah itu tak berdaya menarik perhatian orang untuk menengok keadaannya yang dulu pernah menjadi salah satu pintu gerbang nan megah untuk memasuki Ibu Pertiwi. Kehadiran Bandara Internasional Kemayoran juga sempat dihadirkan di kancah komik dunia, yaitu melalui seri Tintin bertajuk "Penerbangan 714" karya Hergé.

Tak banyak orang yang mengetahui jika tanah luas yang menjadi tempat bermukim gedung rapuh itu dulunya merupakan bagian dari kebangaan negara.

Seperti seorang petugas keamanan yang mengatakan ini kali pertamanya ditugaskan untuk berjaga di pintu gerbang bangunan itu. Ia yang lahir dan tumbuh di Jakarta mengaku baru mengetahui adanya bangunan bersejarah ini.

"Biasanya saya keliling, hari ini ditugaskan ke sini. Saya sempat berpikir ini kan gedung kosong kenapa harus dijaga, ternyata dulu ini bandara," katanya.

Nama Bandar Udara Internasional Kemayoran pernah harum sekitar 1938 sebagai bandara internasional pertama di Indonesia kala itu. Bahkan, pengatur lalu-lintas penerbangan yang dimiliki bandara ini merupakan menara pertama di Asia Tenggara.

"Terminal udara internasional pertama jadi dulu ini pintu gerbangnya Indonesia, lalu Menara Kemayoran yang ada di bandara ini dulunya jadi pertama di Asia Tenggara loh," kata Direktur Perencanan dan Pembangunan PPK Kemayoran, Riski Renando.

Kemegahan menara pengatur lalu-lintas penerbangan di Kemayoran itu bahkan sempat menjadi bagian dari salah satu kisah komik legendaris "Penerbangan 714" serial Tintin, yang terbit pada 1968 karya pengarang asal Belgia, Herge.

Dua landasan pacu yang sempat tergesek oleh berbagai roda pesawat canggih pada masa itu pun kini telah beralih fungsi. Landasan pacu utara-selatan sekarang menjadi Jalan Benyamin Syueb, sementara landasan barat-timur menjelma sebagai Jalan HBR Motik.

Kejayaan Bandara Internasional Kemayoran mulai runtuh pada 1970-an karena dianggap terlalu dekat dengan Bandar Udara Halim Perdanakusuma, akhirnya pemerintah memindahkan aktivitasnya ke Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, di Cengkareng, Banten.

"Penutupan Bandara Kemayoran resmi ditutup sekitar 1985 tepatnya 1 Juni," kata Riski.

Salah satu relief karya seniman Harijadi Sumodidjojo terpajang di bekas Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (19/7/2019).
(ANTARA/Astrid Habibah)

Maestro Indonesia
Tidak banyak yang tersisa dari Bandara Internasional Kemayoran setelah 34 tahun resmi ditutup, selain gedung yang mulai rapuh termakan usia, pohon rindang tak beraturan, rerumputan liar yang kini menjadi semak belukar, serta beberapa sarang kelelawar dilangit-langit atap gedung.

Di sisi lain, jika menelisik jauh ke dalam gedung ternyata masih tersimpan beberapa peninggalan yang masih kuat merekat di dinding yang kini berwarna kusam. Tempat yang dulu merupakan ruang tunggu VIP bagi para tokoh berpengaruh dunia ini lah tiga relief karya maestro-maestro Indonesia hingga kini masih bertengger.

Seni relief yang sudah ada sekitar tahun 1957 itu dibuat dengan tema tentang kekayaan Indonesia atas gagasan Presiden Soekarno. Budayawan legendaris milik Indonesia dikerahkan Bung Karno untuk memperelok ruang tunggu VIP Bandara Internasional Kemayoran kala itu.

Di antaranya Harijadi Sumodidjojo yang bertema flora dan fauna Indonesia, Sudjojono yang menggambarkan keanekaragaman manusia Indonesia, serta Soerono yang mengukir relief tentang cerita legenda Indonesia.

Relief yang sekarang sudah berumur lebih dari 62 tahun tersebut tidak sedikitpun menampakkan kelelahannya untuk setia bermukim di gedung yang saat ini sangat sepi tak terawat itu. Hanya ada satu retakan panjang dari atas ke bawah pada relief milik Sudjojono. Itu pun ulah gedung ini yang sepertinya mulai memberontak termakan zaman.

"Ini retak karena tanah di bawah gedung ini bergeser. Sedangkan gedung ini juga belum pernah diperbaiki sebelumnya secara material, hanya cat ulang saja," kata Santu Wirono, anak dari budayawan Harijadi Sumodidjojo yang masih sering menengok gedung tempat relief ayahnya tinggal.

Selain itu, relief tentang flora dan fauna karya Harijadi Sumodidjojo juga terlihat rusak tepat dibagian gambar badan kuda. Santu menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena pada bagian tersebut relief menonjol ke luar.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengkonservasi tiga relief di bekas Bandara Internasional Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (19/7/2019). (ANTARA/Astrid Habibah)

"Pada zaman Pak Soeharto ada keperluan pasang panel listrik, lalu relief kuda ini menonjol akhirnya dijebol saja, diratakan demi panel listrik itu," ujar Santu.

Upaya konservasi dan cagar budaya
Kenyataan bahwa gedung beserta isinya yang sangat syarat akan nilai sejarah tak ternilai, akhirnya mampu menggugah beberapa orang untuk mengupayakan nasib bekas Bandara Internasional Kemayoran itu.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang saat ini sedang menggalakkan kegiatan konservasi karya seni rupa di ruang publik melirik karya seni relief yang berada di bekas Bandara Internasional Kemayoran untuk menjadi bagian dalam programnya.

"Saya kira ini tempat yang sangat luar biasa ya, area yang ada sejarahnya untuk bangsa dan negara. Saya yakin juga banyak yang masih belum tahu tentang tempat ini," kata Sekretaris Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sri Hartini.

Dalam hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Pusat Pengelola Komplek Kemayoran untuk mengimplementasikan UU Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Hartini mengatakan, konservasi baru dilakukan karena adanya peraturan yang baru dikeluarkan pada tahun 2017. Ia mengaku saat ini sedang melakukan kajian serta pembahasan dengan beberapa pihak dalam rangka mengembangkan seni relief tersebut.

"Kemajuan kebudayaan itu tidak hanya tugas dari pemerintah pusat saja, namun provinsi, daerah, masyarakat, komunitas budaya, pegiat budaya, tokoh-tokoh juga turut mewujudkan Undang-Undang tersebut," ujarnya.

Ia melanjutkan, saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengutus tim ahli cagar budaya untuk melakukan kajian terhadap berbagai data, lokasi, dan lain sebagainya. "Sepanjang nanti tim kajian itu sudah menyampaikan rekomendasi bahwa ini bisa masuk dalam cagar budaya nanti baru ditetapkan," katanya.​​​​​​​

Sejumlah siswa sedang menuliskan harapannya pada spanduk yang telah disediakan di bekas Bandara Internasional Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (19/7/2019). (ANTARA/Astrid Habibah)


Harapan sederhana
Adanya rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjadikan bekas Bandara Internasional Kemayoran sebagai cagar budaya bagaikan sebuah sirine bagi warga Jakarta untuk memahat harapan sederhana kepada nasib bangunan yang sempat menarik perhatian dunia ini.

Seperti beberapa siswa kelas 11 asal SMKN 44 Jakarta saat berkunjung ke lokasi pada acara "Konsevasi Tiga Relief" oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Dinda Ibranda, Nadia Maulita, Latifah Zikriah, Nurul Fitri, Gani Aureline, dan Yesa Privi. Mereka kompak mengaku tidak mengetahui jika tanah yang terlihat kosong itu adalah Eks Bandara Kemayoran.

"Belum pernah datang ke sini. Kita tahunya dari sekolah terus pertama datang ke sini baru tahu ada relief," kata Ibranda.

Bahkan Maulita mengatakan bahwa ia sangat menyesal karena baru mengetahui lokasi ini, ia pun berjanji akan sering menengok bangunan bersejarah itu ketika sudah resmi dibuka untuk umum.

"Saya pas masuk ini langsung kayak kenapa baru tahu sekarang, kenapa tidak dari dulu kan bisa mempelajari budaya-budaya Indonesia," katanya.

Zikria menyampaikan agar tempat bersejarah itu harus bisa lebih dijaga, terutama relief yang ada di dalamnya agar menjadi bahan cerita untuk masa depan. "Tolong jangan dikotorin, atau dihancurkan kayak karya relief seperti ini supaya semua generasi Indonesia bisa mencintai budaya Indonesia," ujarnya.

Guru mereka, Husnul Hatimah, juga mengatakan bahwa dengan dijadikannya bekas Bandara Internasional Kemayoran sebagai cagar budaya dan dibuka untuk umum itu sangat membantu guru kesenian seperti dirinya dalam mengajarkan karya relief kepada para siswa.

"Ini penting untuk apresiasi seni rupa karena para siswa dasar awalnya saja kurang tahu. Melalui ini mereka bisa mengapresiasi karya-karya maestro yang menggambarkan budaya Indonesia," katanya.

Selain itu, harapan juga datang dari Sani Putri yang merupakan anak dari maestro Harijadi Sumodidjojo. Ia mengatakan sangat terharu melihat adanya keputusan Kemendikbud itu.

"Alhamdulillah ikut bersyukur bahwa generasi muda harus tahu bahwa ini aset, itu yang sangat penting," katanya.

Sani mengaku sempat menangis ketika datang ke gedung yang menyimpan karya relief milik ayahnya. Selain karena terkenang masa lalu saat ia kecil menemani sang ayah memahat bebatuan, ia juga sedih melihat kondisi bangunan itu.

"Di sini dulu masih kampung sekali, semak belukar seperti hutan. Tadi saya masuk ke sini mau nangis rasanya karena sudah beberapa puluh tahun yang lalu, dulu sempat megah, sekarang mulai kembali ke kondisi semula yang penuh belukar," ujarnya.

Lebih lanjut, Direktur Perencanaan dan Pembangunan PPK Kemayoran Riski Renando yang selama ini turut mengikuti perjalanan kelam bangunan itu dalam beberapa waktu ke belakang mengaku sangat beryukur dengan keputusan itu.

Saat ini pihaknya sedang menyusun rencana agar relief tersebut tidak hanya preservasi namun juga bisa dijadikan sarana umum untuk edukasi. Selain itu, ia juga berencana untuk membuka lokasi tersebut untuk umum setelah semua persiapan sudah dilakukan secara matang.

"Rencana kita akan bukan untuk umum, karena kalau hanya kalangan tertentu juga pesannya enggak akan keluar," ujarnya.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019