Bila tidak ada regulasi yang mengatur, dikhawatirkan muncul para pemain nakal yang memanfaatkan peluang untuk menyeberang ke model bisnis lain.
Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempertimbangkan untuk membuat regulasi mengenai finansial teknologi (fintech) dengan model bisnis di bidang aggregator.
"kelihatannya memang kita perlu atur aggregator seperti apa," ujar Kepala Group Inovasi Keuangan Digital (IKD) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono dalam acara diskusi di Gedung OJK, Jakarta, Jumat.
Pertimbangan tersebut muncul setelah aggregator menjadi model bisnis paling banyak dipilih oleh para inovator fintech yang masuk dalam regulatory sandbox.
Dari hasil regulatory sandbox yang diadakan oleh OJK baik batch 1 maupun batch 2, tercatat 15 inovator fintech yang memilih model bisnis aggregator. Antara lain Cermati, Cekaja, Pinjamania, GoBear, Kreditpedia, Lifepal, dan Waqara.
Triyono mengatakan dengan semakin banyaknya pelaku inovator fintech yang melirik bisnis aggregator, peraturan untuk model bisnis tersebut sudah sepatutnya dibuat.
Apalagi, kata dia, model bisnis aggregator memiliki sejumlah kemiripan dengan model bisnis lainnya, seperti keagenan.
Bila tidak ada regulasi yang mengatur, dikhawatirkan muncul para pemain nakal yang memanfaatkan peluang untuk menyeberang ke model bisnis lain.
"Jadi kenapa diatur? karena dia suka tergoda untuk menyeberang ke arah keagenan, ke arah memberikan layanan tambahan misalnya penilaian konsumen terkait kredit scoring dan sebagainya," ucap dia.
Baca juga: OJK minta masyarakat waspadai tekfin ilegal
Lebih lanjut Triyono mengatakan bahwa model bisnis aggregator memiliki potensi untuk semakin berkembang.
Dengan fungsi sebagai pengumpul informasi, penyedia layanan aggregator dapat membantu masyarakat membuat keputusan dalam membeli produk, termasuk layanan jasa keuangan.
"Ini sangat bagus untuk membuat nasabah menjadi cermat dan hati-hati. Keputusan nasabah menjadi lebih cermat dan bijak dan membantu mempercepat mengambil keputusan," ujar Triyono.
"Fungsi agregator sangat positif mendukung tidak hanya sekadar fintech, tapi lembaga keuangan secara umum," tambah dia.
Berdasarkan data dari Asosiasi Fintech Indonesia tahun 2018, terdapat 235 perusahaan fintech di mana 26 di antaranya bergerak di model bisnis aggregator.
Perusahaan aggregator tersebut menawarkan jasa untuk menghubungkan konsumen kepada perusahaan yang memiliki jasa, produk, atau layanan tertentu.
Baca juga: OJK: Tekfin harus jangkau masyarakat "unbankable"
Pewarta: Fathur Rohman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019