Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang belum lama dilantik Hasto Wardoyo menargetkan lembaganya memiliki wajah baru dalam enam bulan ke depan yang targetnya menjadi dikenal lekat oleh masyarakat.
Lebih spesifik lagi, Hasto menargetkan BKKBN dengan segala programnya harus mengena di hati para remaja yang mana bakal tulang punggung bangsa Indonesia di masa datang.
Sebagaimana visi Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Sentul Bogor beberapa waktu lalu, salah satunya adalah mengatasi masalah kesehatan yang masih menjadi momok bagi bangsa, yaitu kematian ibu; kematian bayi; dan balita kerdil. Hasto menilai, masalah kesehatan tersebut harus diselesaikan jika mau membangun sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas di masa datang.
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia saat ini masih 305 per 100 ribu kehamilan atau persalinan, sementara angka kematian bayi (AKB) di bawah satu tahun (neonatal) 15 per 1000 kelahiran hidup, dan prevalensi kekerdilan atau stunting di angka 30,8 persen. Angka-angka ini mau tak mau harus ditekan.
Hasil studi guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Endang L Achadi menyebutkan kematian ibu dikarenakan komplikasi kebidanan yang tidak ditangani dengan baik dan tepat waktu. Sekitar 15 persen dari kehamilan atau persalinan mengalami komplikasi, sisa 85 persennya normal.
Sekitar 75 persen kematian ibu penyebabnya adalah pendarahan, infeksi, serta tekanan darah tinggi saat kehamilan. Sementara kematian bayi penyebab utama adalah lahir prematur, komplikasi terkait persalinan, infeksi dan cacat lahir.
Sekitar 47 persen kematian balita adalah kematian neonatal. Kematian neonatal berkaitan erat dengan kualitas pelayanan persalinan, dan penanganan bayi baru lahir yang kurang optimal segera setelah lahir dan beberapa hari pertama setelah lahir. Sedangkan kekerdilan pada anak erat kaitannya dengan kesehatan ibu hamil, pemenuhan gizi bayi dalam kandungan, hingga gizi bayi jelang usia dua tahun.
Penanganan tiga masalah kesehatan tersebut perlu kerja bersama lintas kementerian-lembaga yang berkaitan erat dengan faktor penyebab di hulu persoalan.
Dalam konteks tugas dan fungsi BKKBN, Hasto sebagai Kepala BKKBN yang memiliki latar belakang sebagai dokter spesialis kebidanan dan kandungan mengambil peran di hulunya melalui edukasi masyarakat sebagai upaya pencegahan.
Lebih jauh lagi, Hasto menyasar para remaja yang kelak akan menjadi orang tua agar lebih berpengetahuan di bidang kesehatan keluarga, termasuk dalam kesehatan reproduksi.
Tantangan lain yang juga menjadi masalah dalam kesehatan reproduksi yang berkaitan dengan AKI, AKB, dan kekerdilan adalah tingginya angka perkawinan dini di Indonesia yang mencapai 11,2 persen.
Perkawinan dini yang mengarah pada kehamilan usia dini memiliki risiko sangat tinggi dan bisa berujung pada kematian ibu, kematian bayi, atau stunting.
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dwi Listyawardani mengungkapkan faktor paling banyak tingginya angka perkawinan dini disebabkan oleh pergaulan bebas, faktor kemiskinan, budaya, dan agama.
Dia juga menyebut angka perkawinan dini tinggi di wilayah pedesaan dibanding perkotaan, dikaitkan dengan angka kemiskinan di mana banyak anak yang putus sekolah kemudian berujung pada perkawinan dini.
Kesehatan reproduksi
Menurut Hasto, banyak remaja yang mengetahui tentang kesehatan reproduksi, namun belum memahaminya secara mendalam. Padahal banyak hal-hal sederhana, namun teramat penting untuk diketahui oleh remaja dalam kesehatan reproduksi.
Dia mencontohkan bahayanya perkawinan dini yang bisa menyebabkan penyakit kanker mulut rahim atau kanker serviks di masa mendatang. Hasto menerangkan mulut rahim perempuan yang usianya di bawah 19 tahun sifatnya masih terbuka atau ekstropion mudah terpapar virus.
Mulut rahim perempuan tersebut perlahan-lahan akan menutup dengan sendirinya seiring bertambahnya usia, dan akan menutup sempurna di usia 20 tahun. Pada fase tersebut, mulut rahim wanita sudah aman untuk bisa melakukan hubungan seksual.
Namun, apabila mulut rahim perempuan sudah terpapar hubungan seksual sebelum usia 19 tahun, hal itu berisiko tinggi menyebabkan kanker mulut rahim pada 15 hingga 20 tahun mendatang.
Untuk diketahui, kanker mulut rahim masih menjadi penyakit kanker nomor dua terbanyak di Indonesia yang diidap perempuan setelah kanker payudara. Lebih parah lagi, angka deteksi dini kanker serviks saat ini masih 5 persen dari seluruh perempuan Indonesia yang pernah melakukan hubungan seksual.
Hasto juga memaparkan bahaya kehamilan dini atau di bawah usia 20 tahun. Dia menjelaskan bahwa ukuran panggul perempuan baru akan mencapai 10 centimeter ketika sudah mencapai usia 20 tahun. Sementara, diameter kepala bayi yang siap dilahirkan juga berukuran 10 centimeter.
Oleh karena itu akan sangat berisiko bagi perempuan yang melahirkan di bawah usia 20 tahun karena panggulnya belum mencapai ukuran sesuai kepala bayi. Perempuan di bawah 20 tahun yang melahirkan anak tidak akan bisa bersalin secara normal dan menyebabkan bentuk kepala bayi yang tidak sempurna.
"Kalau tidak 10 centi tidak bisa melahirkan dengan normal, sehingga banyak yang lahir kepalanya benjol sana benjol sini karena molase, untuk menyesuaikan antara ukuran kepala bayi dengan panggulnya ibu," kata dia.
Lebih parah lagi hal tersebut bisa menyebabkan gangguan kecerdasan dan rendahnya IQ anak jika terjadi trauma di bagian dalam kepala atau otak.
Hasto juga mengungkap alasan kampanye program KB menganjurkan dua anak dikarenakan risiko melahirkan anak lebih dari dua yang bisa dialami ibu. Seorang ibu yang melahirkan anak lebih dari dua berisiko mengalami pendarahan yang lebih serius saat persalinan di atas anak kedua.
"Melahirkan tiga kali risiko pendarahan lebih tinggi, melahirkan anak ketiga, keempat kelima jauh lebih besar risikonya dari anak kedua. Kenapa anak dua lebih sehat, karena kemampuan untuk kontraksi saat melahirkan yang ketiga jauh lebih berkurang," kata Hasto.
Dalam strategi mengubah wajah baru BKKBN, Hasto secara serius ingin menggempur remaja dengan berbagai informasi kesehatan reproduksi. Tujuannya, agar menghindari perkawinan dini yang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa mendatang.*
Baca juga: Kepala BKKBN temui Khofifah minta dukungan program kependudukan
Baca juga: Kepala BKKBN minta guru berikan pendidikan kesehatan reproduksi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019