New York (ANTARA News) - Indonesia tidak akan dapat menjembatani hubungan Amerika Serikat maupun negara-negara Barat lainnya dengan Iran -- hubungan yang selama ini diwarnai dengan ketidakpercayaan, terutama berkaitan dengan masalah pengembangan nuklir Iran -- karena Indonesia sendiri dipandang tidak akan mampu mengubah kebijakan Iran sendiri. Demikian penilaian yang dilontarkan oleh pengamat dari John Hopkins University- Washington, D.C., Karld D. Jackson, Kamis, berkaitan dengan misi kunjungan yang baru-baru ini dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Teheran, ibukota Iran. "Bukan apa-apa. Masalah utamanya adalah Iran. Indonesia bisa saja mencoba, tapi Iran adalah pihak yang sulit digerakkan. RI tidak dapat menjembatani AS-Iran ," kata Jackson ketika menjawab pertanyaan ANTARA New York, apakah realistis jika ada pihak-pihak yang berharap Indonesia menjadi jembatan hubungan Iran dengan AS dan negara-negara Barat. Ia menilai wajar jika ada pihak-pihak yang mengharapkan kunjungan Yudhoyono ke Iran ataupun hubungan baik yang selama ini terus dijaga oleh Jakarta dengan Teheran akan membawa dampak positif bagi AS dan negara-negara Barat dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan Iran. "Tapi kita tidak pernah tahu apa sebenarnya yang berada di balik diplomasi... Lihat saja, Tokyo juga berupaya melakukan pendekatan kepada Iran (menyangkut kepatuhan soal pengembangan nuklir, red). Tapi masalah utamanya adalah Iran sendiri. Tidak ada yang benar-benar tahu Iran," kata Jackson, pengamat yang saat ini menjabat sebagai Direktur Studi Asia dan Asia Tenggara pada Paul H. Nitze School of Advanced International Study di John Hopkins University. Keuntungan yang dimiliki Indonesia sebagai negara yang sama-sama dengan Iran merupakan negara berpenduduk muslim, juga tidak dilihat Jackson sebagai faktor yang dapat mengubah Iran. "Sulit untuk berharap pada adanya kesamaan agama. Memang mungkin dapat membantu sedikit. Tapi kita lihat sendiri, Teheran misalnya terus saja mengubah kebijakannya terhadap AS dan Israel," ujarnya. Dalam kaitannya dengan AS sendiri, Jackson yang antara lain juga pernah menjadi penasehat keamanan nasional Wapres AS pada 1991-1993, melihat bahwa posisi Indonesia yang masih menjalin hubungan baik dengan Iran tidak akan disikapi negatif oleh AS. "Kalaupun Indonesia mau mengambil posisi independen, yang lebih penting akan dilihat oleh AS adalah totalitas hubungan Indonesia dengan AS," katanya. Sikap independen Indonesia baru-baru ini diperlihatkan saat menyatakan abstain pada pemungutan suara awal Maret lalu di Dewan Keamanan PBB terhadap Resolusi 1803 soal penambahan sanksi bagi Iran. Indonesia adalah satu-satunya negara di antara 15 anggota DK-PBB yang tidak menyetujui penambahan sanksi bagi Tehran. "Selama Indonesia masih berada pada parameter yang ada, Washington tidak akan terganggu dengan sikap Indonesia. Dan kemarin dengan menyatakan abstain dibandingkan menolak, Indonesia telah menunjukkan sikap independen dengan cara yang `sophisticated`," kata Jackson. Keinginan Presiden Yudhoyono sendiri untuk melakukan pertemuan dengan mitranya Presiden Mahmoud Ahmadinejad di Teheran, dilihat Jackson lebih banyak mengandung unsur politik, termsuk untuk membangun solidaritas. "Tapi yang saya lihat, tujuan utama yang ingin diraihnya (Yudhoyono, red) memang mewujudkan perjanjian ekonomi yang telah digagas sebelumnya dengan Iran," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2008