Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah warga "pelarian" asal Papua yang telah lama tinggal di luar negeri kembali ke Tanah Air dan mereka bertemu Menpora Adhyaksa Dault di Jakarta, Kamis. Sejumlah eks aktivis pro kemerdekaan Papua yang bertemu Menpora adalah Adolf Hanasbey (pejabat setingkat Dirjen pada Departemen Pendidikan Papua Nugini), John Norothou (bekas pejabat di Papua Nugini), Nick Meset (pilot di Australia), dan beberapa orang lainnya. Mereka didampingi oleh Franz Albert dari "Independent Group Supporting The Special Autonomous Region of Papua Within The Republic of Indonesia" (IGSSARPRI), sebuah kelompok independen yang mendukung otonomi khusus Papua dalam Republik Indonesia. Sebelum ke Menpora mereka telah bertandang ke DPR-RI dan merencanakan pula untuk bertemu Wapres Jusuf Kalla dan Menkopolhukam Widodo AS. Nick Meset yang menjadi pilot berkulit hitam pertama di Australia menceritakan sebenarnya ingin menjadi pilot di Indonesia tetapi sulit terwujud dan memilih bekerja di Negeri Kanguru. Mereka terpaksa lari ke luar negeri karena merasa tidak puas berada di Papua. Kini mereka kembali ke Tanah Air karena merasa Indonesia sudah lebih baik. Frans Albert juga mantan "pelarian" mengatakan, mereka tertarik kembali ke Indonesia karena kondisi di dalam negeri makin baik, adil, dan aman. Begitu pula dengan kehidupan demokrasi yang makin maju, terlihat dari kebebasan pers. Ia berharap warga Papua semakin besar dalam memperoleh kesempatan kerja di berbagai bidang. "Sebagai contoh, saya naik pesawat dari Jayapura ke Jakarta namun tidak ada pramugari asal Papua," katanya. Atas kedatangan mereka, Adhyaksa merasa terharu dan bangga karena bersedia kembali ke Tanah Air. Menpora mengakui dahulu ada kesenjangan antara Papua dengan daerah lain namun pemerintah telah berusaha mengatasi kesenjangan itu. Ia mengatakan, saat ini Papua memperoleh dana yang cukup besar untuk melakukan pembangunan. Selain itu, kata Menpora, telah banyak warga Papua yang menjadi anggota DPR, polisi, dan tentara. Menpora mengingatkan memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) belum tentu memberikan hasil terbaik. Ia mencontohkan di banyak wilayah di luar negeri yang memisahkan diri dari negeri asalnya namun justru mengalami keterpurukan. "Tidak mudah (memisahkan diri). Tidak bisa keluar dari persoalan. Belum lagi masalah perebutan kekuasaan," katanya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008