Jakarta (ANTARA) - Secara bebas, revolusi dapat digambarkan sebagai suatu perubahan radikal, perubahan mendasar dan perubahan yang cepat.

Tujuannya adalah merobohkan, menjebol dan menggusur sistem lama menjadi suatu sistem baru. Terlebih karena akar kata revolusi adalah "revolt" yang artinya memberontak.

Bila disambungkan dengan proses pemberantasan korupsi, tidak berlebihan bila masyarakat membutuhkan orang-orang yang dapat menghadirkan revolusi pemberantasan korupsi. Dalam artian mewujudkan pemberantasan korupsi yang tidak hanya "pelan-pelan" saja.

Kondisi "pelan-pelan" tersebut setidaknya terlihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang kerap dipakai menjadi acuan mana negara yang bersih, transparan dan akuntabel. Sebaliknya mana negara yang "memelihara" korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pemerintah Indonesia menggunakan IPK sebagai salah satu ukuran indikator keberhasilan dalam Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini pemerintah Indonesia menargetkan skor IPK pada 2019 mencapai angka 50.

Namun jika diamati skor IPK Indonesia yang merupakan hasil dari penelitian Transparansi Internasional Indonesia selama lima tahun terakhir belum bergerak naik secara signifikan. Berawal dengan skor 32 pada tahun 2013 dan terakhir 37 pada tahun 2016.

IPK Indonesia pada 2017 yang dirilis Transparency International (TI) pada 2017 sama seperti tahun 2016 di angka 37 dari skala 0-100. Skor 0 mengindikasikan paling korup, sementara 100 paling bersih.

Saat pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pertama memerintah pada 2014, IPK Indonesia berada di angka 34 yang menunjukkan pencapaian kinerja pemberantasan korupsi pada 2013 yang masih di bawah pemerintah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Selanjutnya pada 2015 IPK Indonesia ada pada angka 36 yang mencerminkan kinerja pemberantasan korupsi tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK. Pada 2016 skor tetap bertahan di angka 36 atau merupakan kinerja pemberantasan korupsi tahun kedua pemerintahan Jokowi-JK.

Pada 2017, IPK Indonesia berada di angka 37 atau hanya naik 1 poin.

Indonesia mendapat skor rendah oleh 3 lembaga, yaitu World Justice Projet (20) yang mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum, Varieties Democracy Project (30) mencakup 7 prinsip demokrasi di suatu negara dan persepi korupsi sektor publik (32) yang menilai soal pimpinan politik nasional dan lokal serta PNS pusat dan daerah.

Pada 2018, IPK Indonesia sekali lagi naik tipis, yaitu 1 poin menjadi 38 dan berada di peringkat 89 dari 180 negara yang disurvei. Indonesia punya skor yang sama dengan Bosnia Herzegovina, Sri Langka dan Swaziland.

Rendahnya IPK Indonesia lagi-lagi berasal dari IMD World Competitiveness Yearbook (turun dari 41 poin pada 2017 ke 38 poin pada 2017) dan Varieties of Democracy Project (turun dari 30 poin pada 2017 ke 28 poin pada 2018).

Sementara penilaian yang mengalami peningkatan adalah Global Insight Country Risk Ratings (dari 35 poin pada 2017 ke 47 poin pada transkrip 47) dan PERC Asia Risk Guide (dari 32 poin pada 2017 ke 33 poin pada 2018).

Satu hal lain yang disoroti adalah World Justice Project–Rule of Law Index yang mengukur ketaatan satu negara dalam penegakan hukum tetap rendah yaitu pada 20 poin atau stagnan seperti pada 2017.

Baca juga: 192 orang lulus seleksi administrasi calon pimpinan KPK
Baca juga: Komisi Yudisial siap bantu pansel capim KPK

Penyidik KPK (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Realistis
Lantas apakah mungkin IPK Indonesia pada 2019 menjadi 50 seperti target pemerintah bila pada 2018 berselisih 12 poin, yaitu hanya 38? Mampukah Pemerintah Indonesia melakukan revolusi yaitu perubahan cepat dalam pemberantasan korupsi?

Meski ada sejumlah pihak yang meyakini tak ada yang mustahil di dunia ini, namun perlu juga realistis membuat target IPK hingga menetapkan cara-cara untuk mencapai target tersebut.

Profesor ilmu politik National University of Singapore (NUS) Jon ST Quah dalam tulisannya berjudul "Responses to Corruption in Asian Societies" sebagai salah satu kompilasi di buku Political Corruption memberikan enam pelajaran yang dapat diambil suatu pemerintahan sebagai upaya pemberantasan korupsi di lima entitas Asia, yaitu Singapura, Hong Kong, Mongolia, India dan Filipina.

Pelajaran pertama adalah komitmen dari para pemimpin politik untuk menghadirkan hukum yang sama bagi semua. Tidak ada lagi adagium hukum "tajam ke bawah tapi tumpul ke atas", semua orang yang terbukti korup harus dihukum.

Kedua, strategi komprehensif adalah kunci. Seluruh bidang harus sama-sama mengunci perilaku korup. Quah bahkan menekankan untuk memperbaharui aturan hukum antikorupsi agar dapat selalu relevan dengan tuntutan zaman seperti yang dilakukan Singapura.

Ketiga, lembaga antikorupsi harus benar-benar antikorupsi. Ada standar tinggi terhadap para pegawai dan diawasi oleh pemimpin politik yang juga terbukti jujur dan tidak korup. Para pegawai lembaga antikorupsi yang terbukti melakukan korupsi harus langsung dipecat.

Keempat, lembaga antikorupsi harus terpisah dari kontrol polisi. Quah menilai bahwa lembaga antikorupsi harus secepatnya dipisahkan dari Kepolisian agar bekerja lebih efektif.

Hal tersebut terlihat jelas di lembaga antikorupsi Singapura dan Hong Kong yang lebih efektif memberantas korupsi setelah terpisah dari Kepolisian sedangkan lembaga antikorupsi Mongolia dan India sulit bekerja karena keterlibatan polisi di lembaga itu.

Kelima, mengurangi titik-titik rawan korupsi dalam birokrasi seperti di Bea Cukai, Imigrasi, keuangan dan polisi. Lembaga-lembaga tersebut harus terus-menerus melakukan pengawasan internal atas stafnya.

Keenam, mengurangi korupsi dengan meningkatkan gaji pegawai bila negara dapat melakukannya. Aparatur negara atau pemimpin politik akan lebih mungkin korup bila pendapatan mereka sedikit atau tidak seimbang dengan tanggung jawab mereka selama kondisi keuangan pemerintahan memungkinkan.

Baca juga: Polri tidak miliki target dalam seleksi capim KPK
Baca juga: Anggota DPR yakin Pansel Capim KPK seleksi kandidat secara profesional

Penangkapan (Antaranews Kalsel/M. Taupik Rahman) (Antaranews Kalsel/M. Taupik Rahman/)

"Super"
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang diamanatkan undang-undang menjadi institusi "super" untuk memberantas korupsi, dengan kewenangan lebih besar dibanding dua "kakak" penegak hukum lainnya: Kepolisian dan Kejaksaan Agung.

Saat ini pun sedang dilakukan seleksi untuk mencari lima orang komisioner KPK 2019-2024. Di tangan 5 orang dan sekitar 1.200 orang pegawai KPK-lah harapan revolusi pemberantasan korupsi disematkan.

Hari ini juga ada 192 orang yang lolos seleksi administrasi sedang menjalani uji kompetensi dan pembuatan makalah untuk melihat kemampuan mereka di bidang pemberantasan korupsi.

Dengan berbagai latar belakang profesi, 192 orang tersebut berkompetisi untuk menyusun strategi pemberantasan korupsi. Antara mencoba mengumpulkan berbagai informasi latar belakang 192 orang tersebut, apakah mereka yang layak memimpin revolusi pemberantasan korupsi Indonesia setidaknya dalam periode 2019-2023?

Semoga panitia seleksi (pansel) dapat jeli memilihnya.

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019