Jakarta (ANTARA News) - DPR, Jaksa Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), akan melakukan pertemuan untuk membahas kesepakatan dan kesepahaman soal pengadilan HAM Ad Hoc. Anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun, di Jakarta, Selasa, mengatakan, pihaknya akan melakukan pertemuan segitiga dengan Jaksa Agung dan Komnas HAM. "Pertemuan informal itu ditujukan adanya kesepakatan dan kesepahaman teknis proses Pengadilan HAM Ad Hoc," katanya setelah menjadi pembicara dalam diskusi di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras). Ia mengatakan, kesepahaman tersebut seperti pada pandangan Jaksa Agung sebelumnya yang meminta dibentuk dahulu pengadilan HAM ad hoc agar lebih memudahkan proses penggeledahan atau penangkapan. DPR sendiri, kata dia, untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc tersebut harus ada penyidikan kasus pelanggaran HAM terlebih dahulu. "Kesepakatan dan kesepahaman itu yang harus dilakukan terlebih dahulu," katanya. Ia juga menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materiil penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, merupakan, putusan yang harus dihormati. Dalam putusan MK tersebut, penghapusan kata "dugaan" di dalam Pasal 43 UU Pengadilan HAM. Sementara itu, komisioner Komnas HAM, Kabul Supriyadhie mengatakan, penghapusan kata `dugaan` dalam Pasal 43 UU Pengadilan HAM, memberikan harapan baru bagi dunia pergerakan HAM di tanah air termasuk bagi Komnas HAM. "Adanya keputusan pengadilan yang didasarkan pada isi UU sangat tidak akomodatif dengan tuntutan korban, hingga revisi dari UU Pengadilan HAM itu memang mutlak diperlukan," katanya. Bahkan, revisi itu tidak hanya pada Pasal 43 saja melainkan secara keseluruhan UU Pengadilan HAM, agar dikaji ulang demi menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM di masa lalu, kini atau pun mendatang. Di bagian lain, ia mengatakan Komnas HAM akan terus berusaha mendesak secara intensif kepada DPR untuk dapat menerima hasil penyelidikan yang telah dilakukan, dan segera membentuk pengadilan HAM ad hoc. "Terutama untuk kasus Mei 1998, Trisakti Semanggi I, Semanggi II, dan penghilangan orang secara paksa pada 1997/1998," katanya. Di dalam acara diskusi itu, Ketua Kontras Usman Hamid mengatakan, putusan MK soal UU Pengadilan HAM itu merupakan angin segar bagi korban pelanggaran HAM berat. "Korban HAM itu menuntut agar pelaku pelanggaran HAM itu dapat disidangkan melalui pengadilan HAM ad hoc," katanya. Kendati demikian, ia mengharapkan dalam menegakkan kebenaran tersebut harus ada kemauan yang kuat dari institusi yang berwenang. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008