Surabaya (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa, akhirnya menunda sidang untuk memberi kesempatan pemeriksaan kejiwaan aktor kawakan era 1970-an, Roy Marten alias Roy Wicaksono (55). "Nggak usah minta izin (mengajukan surat keterangan dokter untuk permohonan pemeriksaan kejiwaan), karena cukup ke Medaeng (kepada dokter Rutan Medaeng)," kata ketua majelis hakim, Berlin Damanik SH. Oleh karena itu, majelis hakim pun menunda persidangan kasus "pesta" sabu-sabu di sebuah hotel di Surabaya (13/11/2007) itu, hingga pekan mendatang. "Kami akan mengikuti bila dokter Rutan Medaeng menyimpulkan perlunya perawatan terdakwa secara kejiwaan," katanya. Menanggapi "izin" dari majelis hakim PN Surabaya itu, pengacara terdakwa Sunarno Edy Wibowo SH MHum menilai, "izin" dari majelis hakim itu sangat penting, karena kliennya memang mengalami depresi akibat ketergantungan SS. "Saya sudah mengajukan, tapi hakim menyerahkan kepada pengacara, karena itu kami akan segera mengajukan pemeriksaan kejiwaan itu ke dokter Rutan Medaeng, kemudian dokter yang memutuskan. Hakim sudah nggak ada masalah," katanya menambahkan. Tentang batas waktu untuk pemeriksaan kejiwaan itu, menurut dia, hal itu sulit diperkirakan. Namun pihaknya ingin agar pemeriksaan dilakukan secepatnya, agar persidangan juga dapat diselesaikan secepatnya. "Nanti, saksi ahli yang berhak menerangkan kondisi kejiwaan mas Roy yang sebenarnya. Tim dokter yang akan memeriksa kondisi kejiwaan mas Roy adalah dr Teguh (Wadir RSUD dr Soetomo Surabaya/ahli kejiwaan), dr Sucipto, dan dr Marga Maramis," katanya. Sementara itu, isteri terdakwa Anna Maria menyatakan, kondisi Roy Marten memang berbeda dengan kondisinya saat dipenjara di LP Cipinang, Jakarta. "Kondisinya berbeda sekali, karena saat ini merupakan proses penyembuhan bagi Roy. Karena itu, kami sangat berharap adanya pemeriksaan intensif bagi Roy," katanya. Pasal yang didakwakan kepada Roy Marten adalah pasal 71 (bersekongkol), 62 (memiliki, menyimpan, dan atau membawa psikotropika), dan pasal 60 ayat 2, 3, dan 5 (tentang menyalurkan dan menerima penyaluran serta penyerahan) UU 5/1997 tentang Psikotropika. Dalam pasal 37 UU 5/1997 disebutkan bahwa siapa yang mempunyai ketergantungan terhadap narkoba/psikotropika, maka penegak hukum wajib melakukan rehabilitasi dan bila dilanggar maka akan terancam pasal 64 yang menjatuhkan hukuman satu tahun dan denda Rp20 juta bagi yang menghalangi. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008