Musa menilainya sebagai resep berkebaya turun temurun. “Contoh kebaya Kartini berpadu dengan kain panjang. Itu resep budaya. Jadi bukan berpadu dengan sarung,” katanya dalam diskusi tentang kebaya yang digelar di Museum Nasional, Jakarta, Selasa.
Selain kebaya kartini, ada juga kebaya noni yang merupakan padu padan dengan gaya Eropa yang berenda.
Menurut Musa, pakaian noni Belanda identik dengan gaun yang berenda, sementara di negara tropis seperti Indonesia menggunakan gaun tentu kurang nyaman.
“Di Indonesia panas ya pakai gaun kalau pakai kain lebih nyaman. Jadi masuk renda dari Eropa. Mereka menggunakan kebaya putih berenda. Kebaya putih itu aslinya bukan dibordir tapi disambung renda-renda,” ucap dia.
Jika persilangan dengan busana Eropa menghadirkan kebaya noni, maka busana Tionghoa peranakan memunculkan kebaya encim dengan bordir warna warni yang cerah.
“Adalagi kebaya kutubaru, ini adalah kebaya klasik Indonesia dan ini harus digunakan bersama kain panjang,” ucap dia.
Menilik penggunaannya, kebaya sejatinya adalah busana yang memiliki pakem-pakem tertentu dalam memakainya.
Namun, jika mengacu pada kebutuhan gaya hidup, tak ada salahnya mengkombinasikan kebaya dengan busana kasual.
“Pakai kebaya kain, sneakers, salah enggak? Enggak karena gaya hidup, tapi itu hanya menggunakan kebaya bukan cara berkebaya,” ucap dia.
Baca juga: Pegiat: perlu upaya kenalkan kebaya sebagai pakaian sehari-hari
Baca juga: Gerakan "Indonesia Berkebaya" tumbuhkan cinta kebaya
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019