Washington, DC (ANTARA News) - Beberapa mantan duta besar AS yang pernah bertugas di Indonesia mengaku sulit memberikan penilaian yang akurat tentang Soeharto karena mendiang mantan presiden itu melakukan "kesalahan besar" namun pada saat yang bersamaan juga membuat kemajuan besar selama kepemimpinannya 32 tahun. Sementara itu tentang aspek pribadi, Soeharto dinilai sangat sopan namun "misterius". Soeharto meninggal di Jakarta pada hari Minggu 27 Januari 2008. "Ada berbagai alasan fundamental yang membuat sulit untuk menilai Soeharto... Mungkin perlu seorang ahli sejarah Indonesia untuk dapat benar-benar menilai Soeharto," kata Paul Wolfowitz, dalam diskusi panel yang diselenggarakan oleh Masyarakat AS-Indonesia (Usindo) di Washington, D.C., Jumat.Wolfowitz adalah duta besar AS yang bertugas di Indonesia selama periode 1986 hingga 1989. Selain Wolfowitz, mantan Dubes AS yang juga berbicara mengenai pengalaman mereka bertugas pada masa-masa Soeharto memimpin Orde Baru selama 32 tahun adalah Edward Masters (1977-1981), John Monjo (1989-1992), Robert Barry (1992-1995) dan J Stapleton Roy (1996-1999). Wolfowitz mengatakan Soeharto dalam kepemimpinannya berhasil mencapai berbagai keberhasilan sekaligus "kegagalan besar". Salah satu tragedi yang dihadapi Soeharto, kata Wolfowitz, adalah presiden kedua RI itu gagal untuk melihat kenyataan bahwa pencapaian ekonomi harus juga diikuti dengan kemajuan di bidang politik. Hal itu diamini oleh Stapleton Roy yang juga menyorot kelemahan Soeharto yang terjebak pada praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) di tubuh keluarganya menyangkut ekonomi. "Tampaknya dia tidak bijak dalam menggunakan kekuasaannya," ujar Roy. "Dia tidak mengakui bahwa pembangunan ekonomi juga memerlukan pembangunan di bidang politik," tambahnya. Roy adalah duta besar AS yang di Indonesia menyaksikan kejatuhan Soeharto setelah 32 tahun memimpin, yaitu dengan pengunduran diri yang dilakukan Soeharto pada 21 Mei 1998 menyusul gelombang demonstrasi mahasiswa besar-besaran yang menuntut pengunduran diri tersebut. Masalah Timor Timur juga disebut Roy sebagai kesalahan Soeharto dengan tidak ditanganinya isu pemisahan diri tersebut dengan baik. Sementara itu pada masa-masa awal mengenal Soeharto --yang pada tahun 1960-an baru saja menduduki tampuk kepemimpinan Indonesia, AS melalui Edward Masters melihat presiden pengganti Soekarno itu sebagai sosok yang tepat untuk melakukan transisi kepemimpinan bagi Indonesia. "Kami melihatnya sebagai figur yang dapat melakukan transisi. Memang kami betul soal itu, tapi transisi itu ternyata baru terjadi 32 tahun kemudian," kata Masters, disambut tawa hadirin. Diskusi panel yang dipandu oleh Karl D. Jackson --Direktur Studi Asia Tenggara di Paul H. Nitze School of Advanced International Studies di John Hopkins University-- itu dihadiri oleh sekitar 100 orang dari kalangan masyarakat AS dan Indonesia. Tentang kepribadian Soeharto, Robert Barry mengaku merasa kesulitan untuk menebak isi pikiran" misterius "presiden RI itu. "Bahkan ketika beliau duduk bersama Clinton (presiden AS saat itu, Bill Clinton), sulit untuk menebak isi pikiran Soeharto," kata Barry.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008