Negara yang surplusnya paling besar, maka menjadi perhatian paling tinggi

Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan dalam konteks hubungan bilateral antarnegara, perang dagang tercipta karena adanya keinginan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang ingin mengurangi defisit neraca perdagangan dengan kebijakan terhadap negara yang surplus perdagangannya dari AS.

"Presiden AS Donald Trump memiliki perspektif kalau perdagangan itu tentang menang dan kalah," ujar Menkeu dalam seminar nasional kajian tengah tahun 2019 yang diselenggarakan Indef di Jakarta, Selasa.

Oleh karena itu, pada tahun 2018 kuartal pertama muncul rilis negara-negara yang mengalami surplus neraca perdagangannya. kemudian masuk ke dalam daftar perhatian AS.

"Negara yang surplusnya paling besar, maka menjadi perhatian paling tinggi," ujar Menkeu.

Negara paling besar surplus dagangnya adalah China, setelah itu ada negara-negara Eropa, Jepang, bahkan Korea Selatan.

"Indonesia pun masuk di dalam daftar 20 negara yang mempunyai surplus perdagangan dengan AS," ujar Menkeu.

Ia menambahkan dengan masuknya China di daftar itu, AS menerapkan kebijakan tarif 25 persen terhadap 279 produk China.

China menyikapinya dengan membuat perjanjian bilateral dengan Meksiko, Kanada, dengan negara Eropa, dan Jepang dengan harapan bisa mengoreksi kebijakan AS tersebut.

Karena melibatkan AS dan China, dua negara terbesar produk domestik bruto (PDB) itu, maka dua kebijakan itu menjadi berdampak besar terhadap melemahnya perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di dunia.

"Estimasi sebesar 0,5 persen di tahun 2019 pelemahan ekonomi dengan meningkatnya eskalasi perang dagang 2018," ujar Menkeu.

Ia menambahkan angka 0,5 persen itu sama dengan hilangnya pertumbuhan PDB satu negara di Afrika Selatan.

Sementara perdagangan global juga diprediksi akan terus mengalami penurunan meski sempat mengalami peningkatan pada 2017.

"Hingga kini pertumbuhan perdagangan global hanya sekitar tiga persen. Angka itu sangat rendah," ujar Sri Mulyani.

Ditambah lagi ketika terjadinya perang dagang, secara kebetulan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/ The Fed) secara bertahap menerapkan kenaikan suku bunga.

"Dalam hal ini, AS melakukan double hit kepada seluruh negara di dunia, padahal secara moneter negara-negara telah menunjukkan tren pelemahan terhadap AS," ujar Menkeu.

Sri mengatakan penurunan mata uang di masing-masing negara tergantung dari seberapa dekat hubungan negara tersebut baik terhadap perdagangan maupun ketergantungan terhadap FDI (Foreign Direct Investment).

Memaknai hal itu, Menkeu merasa sikap tidak mau bergantung pada negara lain, dalam konteks perdagangan dunia agak kurang tepat.

"Semangat nasionalisme itu sangat benar, namun jika dilihat sekarang, negara berkinerja paling baik adalah negara yang mau bergantung kepada dunia," ujar Menkeu.

Ia mencontohkan Vietnam, sebagai negara yang sukses melakukan itu. Vietnam, menurut Sri Mulyani, menggantungkan pasar dan investasinya kepada dunia.

Pernyataan Sri Mulyani ini mengoreksi pernyataan peneliti Indef, Esther Sri Astuti, yang menyebut agar Indonesia jangan mau bergantung pada negara lain.

"Dalam kebijakan antarnegara dan literasi global menurut saya agak kurang tepat," ujar Menkeu.

Selain konteks double hit perdagangan tadi, ada satu aspek lain yang menurut Menkeu mempengaruhi sentimen ekonomi mancanegara yaitu aspek geopolitik.

Aspek tersebut dimunculkan dalam perang teknologi 5G. Menkeu menceritakan bagaimana perusahaan ponsel Cina, Huawei, dicekal dan dipersulit bisnis mereka oleh AS demi sebuah ambisi mendominasi teknologi. Begitu pula sebaliknya.

Baik soal double hit perdagangan dan aspek geopolitik tersebut, perang dagang AS dan RRT menciptakan ketidakpastian perdagangan, ekspor, dan investasi.

"Muncul pesimisme di kalangan investor terhadap aliran modal yang ingin dikeluarkan. Mereka merasa permintaan global terhadap barang menjadi lebih rendah," ujar Sri Mulyani.

Sri mengatakan iklim investasi yang tidak baik akan tercipta seiring pelemahan ekonomi dunia. Karena pengusaha menilai investasi berdasarkan kesempatan apa yang muncul.

"Jadi global economic advanced yang melemah ikut melemahkan minat investasi di mana-mana," kata Menkeu.

Baca juga: Cuma sejam, Menteri Keuangan buru-buru meninggalkan ruang diskusi
Baca juga: Pengamat: peluang Indonesia manfaatkan perang dagang AS-China kecil

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019