Jakarta (ANTARA) - Pascaputusan Mahkamah Konstitusi pada Kamis (27/6) terkait sengketa Pilpres, banyak pihak menunggu dan menginginkan adanya pertemuan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto untuk menurunkan ketegangan setelah mereka melakukan kontestasi dalam merebutkan kursi Presiden 2019-2024.
Banyak tokoh masyarakat dan politik menunggu kapan mereka bertemu. Dan kejadian yang ditunggu itu akhirnya terjadi pada Sabtu (13/7), dimana Jokowi dan Prabowo bertemu di stasiun MRT Lebak Bulus untuk melakukan rekonsiliasi. Pertemuan kali ini tidak berlangsung secara formal sehingga menimbulkan kesan hangat dari kedua belah pihak yang bertemu.
Pemilihan lokasi pertemuan di stasiun MRT Lebak Bulus sendiri juga memiliki alasan tersendiri bagi kedua belah pihak. “Alhamdulillah pada pagi hari ini kita bisa bertemu dan mencoba MRT, karena saya tahu Pak Prabowo belum pernah nyoba MRT,” tutur Presiden Jokowi.
Pertemuan bersejarah ini juga diakui keduanya telah direncanakan sejak lama, tetapi karena kesibukan dari kedua pihak maka pertemuan baru dapat dilaksanakan pada Sabtu (13/7). Dalam pertemuan tersebut, terjawab pula pertanyaan-pertanyaan yang selama ini terlontar terkait alasan Prabowo belum juga mengucapkan selamat atas terpilihnya pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amien sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024.
“Saya katakan, saya ini bagaimanapun ada ewuh pakewuh, ada tata krama. Jadi kalau ucapan selamat maunya langsung tatap muka,” kata Prabowo yang diiringi dengan memberikan
ucapan selamat kepada Presiden Jokowi.
Seluruh masyarakat yang ada di stasiun MRT Lebak Bulus juga turut menyambut baik pertemuan antara Jokowi dan Prabowo, hal ini dibuktikan dengan keriuhan keadaan selama
pertemuan ini berlangsung.
Pelaksanaan pertemuan ini sebagai puncak rekonsiliasi ini, diakui Arief Poyuono selaku Wakil Ketua Umum Gerindra ini cukup mendadak. Dia mengatakan bahwa Gerindra belum melakukan rapat terkait pertemuan antara Prabowo dan Jokowi dan belum mengadakan rapat pimpinan untuk menentukan adanya pertemuan tersebut.
Selain itu, Arief menuturkan bahwa belum dilakukannya pembahasan mengenai rekonsiliasi karena Prabowo baru saja kembali dari luar negeri dan juga Gerindra belum membahas lebih
lanjut mengenai tujuan dilaksanakannya rekonsiliasi.
Pihak Gerindra sendiri menyadari bahwa rekonsiliasi penting untuk dilakukan setelah melihat keadaan masyarakat yang terbagi menjadi dua pihak sejak dilaksanakannya kampanye untuk
pemilihan Presiden.
Arief menjelaskan pihaknya melihat rekonsiliasi itu penting jika ada pembelahan dalam masyarakat dan akan dilakukan, tapi kalau memang rekonsiliasi dianggap tidak penting maka tidak akan dilakukan.
Pertemuan antara Jokowi dan Prabowo ini nyatanya benar-benar menyatukan suara Indonesia kembali, meskipun masih ada beberapa pihak yang belum menerima akan hal ini. Namun setelah pertemuan dilakukan oleh kedua belah pihak, kira-kira selanjutnya langkah apalagi yang akan ditetapkan?
Hingga saat ini, Gerindra belum juga memberikan pernyataan resmi terkait sikapnya dalam Pemerintahan negara. Namun jika dipantau melalui informasi-informasi yang dimuat dalam
website resmi milik partai, Gerindra cenderung memilih untuk menjadi pihak oposisi.
Dalam proses demokrasi, oposisi diperlukan untuk mengontrol dan mengawasi Pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Seperti yang tercantum dalam website resmi partai Gerindra, partaigerindra.or.id, pada Sabtu (27/6) Hendarsam Marantoko mengatakan bahwa hingga kini Gerindra masih nyaman berada dalam pihak oposisi.
“Terkait masalah oposisi atau koalisi, kita mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, kami nyaman dengan oposisi”, kata Hendarsam.
Hendarsam juga mengatakan selama lima tahun belakangan nyatanya Gerindra mampu menjadi partai terbesar kedua yang tidak bergabung dalam koalisi.
Bahkan, sudah sejak tahun 2009 Gerindra telah memutuskan untuk menjadi pihak oposisi dalam Pemerintahan. Setelah Gerindra dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
tidak berhasil memenangkan suara pada kontestasi pemilihan Presiden bersama dengan PDIP.
Selain itu, di tahun 2014 Gerindra kembali memilih pihak oposisi setelah mengalami hal yang sama seperti di tahun 2009. Tetapi pada oposisi kali ini Gerindra tidak beriringan
bersama PDIP, sehingga cukup memungkinkan bagi partainya kembali memutuskan menjadi oposisi setelah melihat keputusannya dari tahun-tahun ke belakang.
Terlepas dari pilihan Gerindra untuk menjadi oposisi atau koalisi nantinya, Jokowi selaku calon Presiden menyatakan akan mendukung keputusan siapapun partai atau pihak yang
memilih menjadi oposisi.
“Menjadi oposisi itu juga sangat mulia, silakan jadi oposisi asal jangan oposisi menimbulkan dendam dan kebencian”, kata Presiden Jokowi dalam pidatonya di Visi Indonesia, Minggu
(14/7).
Jokowi juga berharap, oposisi akan benar-benar mengkritisi kebijakan sesuai dengan semestinya, bukan sebagai oposisi yang menimbulkan kebencian.
Setelah menang dalam Pilpres 2019, Jokowi menyampaikan visi dan misinya dalam suatu acara yang diselenggarakan oleh TKN di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor.
Melalui pidatonya, Jokowi menyampaikan pula lima visi dan misinya dalam memerintah negara, yaitu infrastruktur, sumber daya manusia (SDM), mengundang investasi untuk membuka lapangan pekerjaan, reformasi birokrasi struktural, serta penggunaan APBN fokus dan tepat sasaran.
Jokowi juga menuturkan bahwa tujuan-tujuan pembangunan Indonesia itu bisa terwujud apabila seluruh elemen masyarakat dapat bersatu.
“Namun perlu saya ingatkan bahwa mimpi-mimpi yang besar hanya bisa terwujud jika kita bersatu, jika kita optimis, jika kita percaya diri dan berani menghadapi tantangan-tantangan
kompetisi global, harus berani, kita harus yakin bahwa kita bisa menjadi salah satu negara terkuat di dunia,” kata Jokowi.
Rakyat Indonesia patut menunggu sepak terjang Jokowi dalam usaha memimpin kembali Indonesia dan bagaimana peran Prabowo sebagai oposisi dalam mengawal bangsa ini.
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019