Padang (ANTARA) - Pada siang hari di bulan Juli yang terasa amat terik, suara menderu terdengar di Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan, yang berada sekitar satu kilometer dari kawasan wisata Pantai Muaro, Kota Padang, Sumatera Barat.
Suara itu datang dari kompleks bangunan tua peninggalan Belanda yang berada di antara bangunan lama dan baru milik warga, yakni area bekas Stasiun Poeloe Ajer atau Pulau Air.
Di sekitar stasiun kereta pertama yang dibangun Belanda di Sumatera Barat pada abad ke-19 itu, petugas mengoperasikan ekskavator untuk membersihkan area, mengeruk gundukan tanah dan reruntuhan bangunan di pinggir stasiun kemudian meratakannya.
Sebentar saja, halaman bangunan tua itu sudah terlihat lebih bersih dan lapang. Batang-batang besi panjang bekas rel kereta api yang lama terbenam menjadi terlihat. Jika diperhatikan, setidaknya ada empat jalur kereta yang membentang dari stasiun itu dan hilang hilang di sudut bangunan warga.
Sementara itu, di bagian belakang bangunan stasiun, sejumlah buruh sibuk mengangkut material bangunan. Di area itu telah bertumpuk ratusan batang besi yang akan digunakan untuk mengganti rel kereta yang telah berkarat di bagian depan bangunan. Di sebelahnya tersusun batangan balok beton.
Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wilayah Sumatera Bagian Barat telah memulai upaya reaktivasi jalur kereta api di kawasan itu sejak pertengahan Juni 2019.
Dana hingga Rp40 miliar dialokasikan untuk mengaktifkan jalur kereta sepanjang 2,5 kilometer dari Stasiun Pulau Air menuju Stasiun Simpang Haru Padang dan beberapa jembatan.
Reaktivasi jalur kereta itu merupakan lanjutan pelaksanaan rencana tahun 2008 yang terhenti karena Sumatera Barat menghadapi gempa hebat yang mengakibatkan ribuan rumah dan bangunan hancur tahun 2009.
Upaya itu bukan perkara mudah karena sejak stasiun berhenti beroperasi tahun 1983, jalur kereta apinya dianggap warga sebagai "tanah tak bertuan". Sejumlah warga mendirikan bangunan di area itu tanpa seizin PT Kereta Api Indonesia (KAI) selaku pemilik lahan. Ada pula yang mengajukan kontrak sewa lahan ke PT KAI dengan konsekuensi harus menyerahkan kembali lahan sewaktu-waktu perusahaan membutuhkan.
Sebelum Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wilayah Sumatera Bagian Barat memulai rencana reaktivasi jalur kereta api, bangunan itu sehari-hari menjadi gudang dan kandang mobil bagi warga setempat.
Di samping itu, sebagian jalur kereta sudah ditimbun menjadi tempat warga mendirikan bangunan. Di sepanjang Stasiun Simpang Haru-Pulau Air, menurut data pemerintah setidaknya ada 238 bangunan warga, yang terdiri atas 151 bangunan berkontrak dengan PT KAI dan 87 bangunan tanpa kontrak.
Masa Lalu Stasiun
Stasiun Pulau Air dulu berada di tengah kawasan pondok, sebutan populer untuk Kampung Cina di Padang. Kawasan itu pada masa lalu merupakan salah satu pusat perekonomian Sumatera Barat, tempat pelabuhan sibuk serta gudang rempah-rempah dan biji kopi berada.
Jalur kereta api dari Stasiun Pulau Air menuju Stasiun Simpang Haru merupakan akses menuju daerah pergudangan di kawasan itu.
Jalur kereta api itu diteruskan ke Bukittinggi dan menjadi prasarana pendukung pengangkutan rempah-rempah dan biji kopi hasil tanam paksa dari pedalaman Sumatera Barat seperti Bukittinggi, Payakumbuh dan Pasaman ke Padang untuk kemudian diekspor ke Eropa.
Sebelum Pelabuhan Emmahaven yang kini bernama Teluk Bayur beroperasi, jalur kereta itu juga menjadi prasarana pendukung pengiriman batu bara dari Ombilin Sawahlunto.
Setelah kereta api berhenti beroperasi, stasiun dan jalur kereta api itu mati. Yang tersisa di kawasan yang kini disebut sebagai Kota Lama itu hanya bangunan dengan campuran arsitektur Belanda dan China serta bekas-bekas jalur kereta.
Bangunan bekas Stasiun Pulau Air masih berdiri kokoh, namun kondisinya amburadul. Bangunan stasiun kereta itu sudah kusam. Cat putihnya luntur dan mengelupas di sana sini. Jendelanya yang tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit juga tidak terawat. Tumbuhan merambat hidup di satu sudut atapnya.
Kondisi peronnya lebih parah. Papan penutup atapnya sudah jebol semua. Atapnya pun sudah bolong-bolong.
Pengaktifan kembali jalur kereta tentunya akan mencakup rehabilitasi bangunan Stasiun Kereta Pulau Air itu.
Setelah jalur itu bisa dioperasikan, kereta api yang pada tahun 1980-an ditinggalkan karena dianggap lamban setelah bus datang akan kembali menyusuri rel, menjadi solusi masalah kemacetan lalu lintas akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor.
Dengan jumlah kendaraan yang terus meningkat, jalanan menjadi semakin padat, waktu tempuh pun makin panjang. Perjalanan dari Bukittinggi ke Padang yang pada tahun 1990-an bisa ditempuh dalam 1,5 jam sekarang harus ditempuh dalam empat jam, dan bisa sampai 12 jam saat libur Lebaran.
Pengoperasian kereta api wisata Padang-Pariaman-Naras dalam hal ini bisa menjadi contoh. Dengan kereta api itu, jarak 70 kilometer dalam rute Padang-Pariaman-Naras bisa ditempuh dalam waktu 45 menit, jauh lebih cepat dari bus yang membutuhkan waktu 1,5 sampai dua jam dalam kondisi jalan normal.
Efek Ganda
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mendukung penuh upaya pengaktifan jalur kereta tua itu. Gubernur yang menjabat sejak 2010 dan sudah belasan kali melawat ke luar negeri itu mengatakan bahwa kereta api sudah menjadi sarana transportasi utama di negara-negara maju.
Kenyamanan, kecepatan, dan kemampuan angkutnya menjadi solusi mengatasi masalah mobilitas di daerah-daerah sibuk.
Pengaktifan jalur kereta itu, selain akan menambah pilihan sarana transportasi massal dan menjadi solusi mengatasi masalah kemacetan lalu lintas, juga akan mendukung pengembangan kawasan wisata.
Jalur kereta yang akan membentang dari kawasan wisata Batang Arau menuju tujuan wisata unggulan Kota Padang, Pantai Muaro.
Selain itu, kapal-kapal pesiar nantinya akan bisa sandar di Batang Arau dan kawasan itu digadang-gadang bisa menjadi pelabuhan pariwisata yang sibuk.
Harapannya, upaya-upaya itu akan membangkitkan perekonomian daerah dan warga sekitar kawasan yang dilalui jalur kereta api.
Baca juga:
210 km rel kereta api Sumbar mati suri
Pengaktifan jalur kereta api di Sumbar dukung pariwisata
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019