Bandarlampung (ANTARA News) - Pabrik pengolahan bijih besi skala kecil (skala 25-100 ton per hari) perlu dibangun di berbagai daerah, terutama di kawasan tambang bijih besi yang potensinya tersebar di Indonesia. "Di Indonesia cadangan bijih besi tidak ditemukan dalam jumlah besar di suatu kawasan, tetapi tersebar di banyak kawasan dalam cadangan yang kecil-kecil," kata Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Masbah Siregar saat peresmian pabrik riset tanur tiup pengolahan bijih besi di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengolahan Mineral Lampung Selatan, kemarin. Karena itu, pabrik pengolahannya juga tidak perlu dalam skala besar seperti Krakatau Steel (KS) yang kapasitasnya 500 ton per hari. Menurut dia, konsep seperti itu kurang tepat. "Pabrik skala besar memerlukan cadangan tambang bijih besi yang besar untuk diolah jadi pig iron atau billet sebagai bahan baku pengecoran logam, karena itu jika tambangnya kecil-kecil dan tersebar akan membengkakkan biaya angkutan dari tambang, ini masalah besar." katanya. Namun demikian, ia mengungkapkan, sejauh ini Indonesia belum memiliki industri pengolahan bijih besi mentah. Apa yang dilakukan KS hanyalah mengolah pellete (bijih besi bongkahan berbentuk bulat) yang diimpor menjadi billet (besi kasar bahan baku struktur baja). Padahal, lanjut dia, bijih besi hasil tambang yang tersebar di Lampung, Sumbar, Kalteng, Kalsel, Belitung dan lain-lain langsung diekspor tanpa diolah dengan harga sangat murah Rp300-500 per Kg, sementara KS mengimpor pellete Rp6.000 per Kg. Karena itu LIPI, ujarnya, mengajak investor dalam negeri membangun pabrik pengolahan bijih besi menjadi pig iron (besi kasar) berkapasitas kecil 25 ton per hari hanya dengan modal Rp20 miliar. Pabrik ini bisa dibangun di dekat tambang bijih besi rakyat di sejumlah daerah, dan untuk kebutuhan industri pengecoran logam seperti misalnya di Ceper, Klaten yang membutuhkan besi kasar sekitar 200 ton per hari untuk keperluan seperti pagar, alat rumah tangga, atau alat pertanian. Ia berharap Pemda Lampung, Pemda Kalteng dan lainnya yang punya potensi tambang bijih besi berminat membangun pabrik skala kecil ini dalam bentuk BUMD, karena LIPI hanya membuatkan prototipenya. Sementara itu, peneliti Puslit Metalurgi LIPI, Yusuf, mengakui, pengolahan bijih besi juga akan menghadapi kendala dalam pengadaan bahan bakar karena untuk mengolah satu ton pig iron membutuhkan 1,2 ton arang. "Tetapi bisa juga menggunakan bahan bakar kokas (coking coal), di Kalteng sudah ada hasil eksplorasinya. Tanur tiup LIPI ini menggunakan arang yang sebenarnya akan diekspor," katanya. Kebutuhan Indonesia akan besi saat ini mencapai sekitar tujuh juta ton per tahun dan pada 2020 diperkirakan meningkat menjadi lebih dari 15 juta ton per tahun, karena itu Indonesia perlu mengolah bijih jadi besi secara mandiri.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008