News York (ANTARA News) - Pada Senin, 3 Maret, dunia sekali lagi dikejutkan oleh sikap yang semakin semena-mena ketika rancangan resolusi DK-PBB nomor 1803 untuk sanksi Iran yang disponsori Prancis dan Inggris disahkan dengan suara 14-0-1. Dari 15 anggota DK-PBB, 14 menyetujui, 0 menentang, dan 1 yang abstain, yaitu Indonesia. Indonesia saat ini adalah satu dari 10 anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk dua tahun ke depan. Sikap Indonesia ini tentunya dinilai secara ragam, bergantung pada siapa dan dari sudut mana menilainya. Yang pasti, sikap abstain ini cukup mengecewakan negara-negara besar anggota Dewan Keamanan PBB. Lobi yang mereka lakukan agar Indonesia ikut mendukung resolusi sanksi ketiga kepada Iran ini cukup intens dan mendesak. Namun pada akhirnya Indonesia tidak goyah dengan sikapnya untuk menentang, dan pada akhirnya mengambil "jalan tengah" dengan abstain pada saat pemungutan suara. Tiga negara lainnya, yang selama ini bertahan untuk tidak dijatuhkannya sanksi ketiga atas Iran itu, yaitu Afrika Selatan, Libya dan Vietnam, pada akhirnya bertekuk lutut untuk mengikuti arah keinginan negara-negara kuat di DK-PBB. Afrika Selatan, hingga detik-detik terakhir negosiasi sebelum pemungutan suara masih mengatakan bahwa resolusi tersebut mengabaikan laporan Direktur Jenderal International Atomic Energy Agency (IAEA). Bahkan Afrika Selatan mengemukakan bahwa resolusi itu sebenarnya telah dipersiapkan sebelum laporan IAEA disampaikan di Dewan Keamanan PBB pada 22 Pebruari lalu. Artinya, resolusi itu memang dirancang tanpa merujuk kepada laporan Badan Anergi Dunia (IAEA). Namun demikian, Afrika Selatan bersama Lybia dan Vietnam pada akhirnya ikut memberikan dukungannya kepada resolusi sanksi Iran tersebut. Dan ini semakin memberatkan posisi Indonesia yang harus menjadi "single fightera" dalam membela posisi Iran yang dianggap terzalimi. Sejak awal, sebenarnya, Iran memang banyak mengharap dari 4 negara tersebut. Tapi dari 4 negara itu, Iran juga sadar kalau Afrika Selatan tidak banyak diharapkan, apalagi Libya yang memang sejak tahun-tehaun terakhir telah tunduk di bawah tekanan negara-negara kuat. Maka, Iran menaruh harapan memang hanya kepada dua negara, yaitu Indonesia dan Vietnam. Sayang, Vietnam memiliki kepentingan domestik tersendiri untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara besar. Sehingga terjadilah semacam "barter" kepentingan. Alasan Indonesia Indonesia selalu berpandangan bahwa solusi damai melalui jalur diplomasi adalah penyelesaian atas segala non proliferasi nuklir. Selain itu, Indonesia juga mengakui hak semua negara untuk mengembangkan tenaga nuklir untuk kepentingan damai, dan oleh karenanya Indonesia percaya kepada Badan Enegri Atom Internasional untuk melakukan fungsinya untuk menverifikasi kegiatan-kegiatan pengembangan nuklir negara-negara anggota. Alasan utama Indonesia untuk memilih "abstain" adalah bahwa resolusi itu mengabaikan laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang mengatakan bahwa Iran telah cenderung kooperatif dengan lembaga itu. Ketua badan tersebut, El-baradei, dalam banyak kesempatan telah menyampaikan hal itu dengan jelas. Indonesia menilai bahwa permasalahan nuklir Iran seharusnya diselesaikan melalui forum IAEA, dan bukan Dewan Keamanan PBB. Indonesia menyadari bahwa dari enam poin yang diprogramkan badan nuklir dunia, lima di antaranya telah dipatuhi Iran. Sehingga keluarnya resolusi tersebut dianggap sangat mengada-ada. Iran lebih transparan, dan bahkan dengan jelas dilaporkan oleh IAEA bahwa Iran tidak melakukan pembuatan bom nuklir. Intelejen Amerika Serikat juga melaporkan yang sama beberapa waktu lalu. Selain itu, niat baik Iran untuk duduk dalam meja dialog melalui jalur diplomasi, diharapkan Indonesia untuk menjadi solusi efektif bagi penyelesaian isu nuklir Iran. Resolusi DK-PBB untuk sanksi sebagai hukuman justru semakin menjadikan dialog dan upaya diplomasi menjadi tidak kondusif. Masalahnya bukan pada kenyataan memproduksi senjata nuklir, tapi lebih kepada hilangnya keinginan untuk membangun kepercayaan. Namun terlepas dari semua itu, Indonesia memiliki alasan mendasar dalam hal ini, yaitu sikap "non alignment" (ketidak berpihakan) kepada siapa dan atas tekanan siapaun. Sikap independensi adalah sikap negara Indonesia sebagai negara berdaulat. Sikap ini akan semakin menjadikan Indonesia sebagai negara besar untuk membangun martabat dan harga diri di mata internasional. Sikap bijak, rasional dan independen Indonesia di atas perlu mendapat acungan jempol dari berbagai kalangan. Sebab dengan sikap tersebut, Indonesia sekaligus memperlihatkan resistensi kepada sikap negara-negara maju terhadap perlombaan senjata di Timur Tengah. Di satu sisi, Israel memiliki ratusan hulu ledak nuklir, dan bahkan masih terus mengembangkan persenjataannya, tapi tidak satupun dari negara-negara kuat, khususnya anggota-anggota tetap DK-PBB yang angkat bicara. Sebaliknya, Iran yang kebetulan secara politik berseberangan dengan Israel, masih dalam tahap mencurigakaan sudah dihukum dengan sanksi. Sikap mendua ini tentu akan semakin mempersulit upaya perdamaian di Timur Tengah. Maka sikap Indonesia ini dianggap proporsional. Selain merepresentasikan sikap dasar kenegaraan, juga telah melihat perkembangan dunia secara imbang dan bijak. Terlalu politis Kasak-kasuk yang terjadi di DK-PBB selama ini memang seringkali terlalu bersifat politis. Keputusan-keputusan (resolutions) yang diambil juga seringkali lebih memihak kepada kepentingan-kepentingan negara-negara kuat, ketimbang kepentingan keamanan dunia. Negara-negara kuat yang saat ini mendominasi DK-PBB seringkali mempermainkan posisi DK-PBB untuk kepentingan mereka. Tidak jarang sikap mendua mereka lakukan demi kepentingan itu. Ketika Israel melakukan serangan "blockade" ekonomi kepada penduduk Gaza, yang oleh sebagian bisa dianggap pembumihangusan penduduknya, negara-negara kuat dan Barat khususnya memilih untuk diam. Di satu sisi, di saat apa yang dianggap membahayakan kepentingan negara-negara barat terancam di Timur Tengah, mereka tidak canggung melakukan apa saja untuk meloloskan resolusi di DK-PBB. Rancangan resolusi Iran adalah satu dari sekian banyak resolusi yang bernuansa politis itu. Bahwa di saat Iran semakin bersahabat dengan negara-negara tetangga, termasuk Irak, tentu ini membahayakan kepentingan negara-negara tertentu. Dan olehnya perlu ditemukan cara agar negara Iran tetap berada di bawah tekanan. Dukungan Indonesia kepada Iran tentu tidak saja karena sesama negara Muslim besar. Tapi yang lebih mendasar bahwa Indonesia akan selalu berada pada posisi membela hak-hak yang terdzalimi dan kebenaran. Ini tentunya berlaku pada posisi Indonesia yang selalu akan membela Palestina, selama hak-hak bangsa Palestina belum dikembalikan oleh penjajah Israel. Harapan semua pihak tentunya, sikap tegas dan independen Indonesia ini akan selalu menjadi dasar berpijak bagi siapa saja yang mengambil keputusan ke depan. Dunia memang mengimpikan sebuah sikap yang tidak larut mengikuti arus kepentingan negara-negara kuat. Indonesia diharapkan mampu mempertahankan semangat Konferensi Bandung yang tidak terombang-ambing ke arah mana kuatnya angin bertiup. Maka pada akhirnya, semua tentu memahami sikap Iran yang tidak akan tunduk kepada resolusi yang dianggap dzalim dan illegal. (*)
Oleh Oleh M. Syamsi Ali
Copyright © ANTARA 2008