Jakarta (ANTARA News) - Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan oleh DPR lebih ketat mengatur kerja penyelenggara pemilu untuk menghindari tindak pidana pemilu.Menurut mantan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas) Topo Santoso, di Jakarta, Rabu, di Undang-Undang Pemilu yang baru terdapat 51 pasal yang mengancam penyelenggara pemilu dengan tindak pidana pemilu jika tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan undang-undang.Jumlah pasal ini lebih banyak daripada UU Nomor 12 Tahun 2003 yang hanya memuat 31 pasal. "Kalau kita optimistis maka pasal ini akan membuat penyelenggara pemilu bekerja lebih baik, peka terhadap laporan kecurangan yang disampaikan Panwaslu," katanya. Dia mengatakan hal itu di sela-sela Diskusi Publik "UU Pemilu Baru dan Konsekuensinya" yang dihadiri sejumlah tokoh yaitu Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saefuddin, Teten Masduki dari Indonesia Corruption Watch, Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Agus Purnomo, dan Direktur CETRO Hadar Navis Gumay. Namun, pasal yang mengatur tentang penyelenggara pemilu ini belum tentu dapat memperlancar pelaksanaan pemilihan umum. Pasal tersebut berpotensi digunakan secara berlebihan. Ia menjelaskan, melalui pasal ini Panwaslu dapat melaporkan kinerja penyelenggara yang tidak memuaskan. "Yang artinya, bisa saja setiap hari akan ada Panwaslu yang melaporkan penyelenggara pemilu ke polisi," katanya menerangkan. Jika hal yang disampaikan Topo benar-benar terjadi, maka penegakan hukum akan lebih diutamakan ketimbang pelaksanaan pemilu. "Masalahnya, kalau dilihat dari budaya kita, orang cenderung kecewa. Untuk itu, angka tindak pidana pemilu akan meningkat. Bisa jadi setiap hari ada laporan," ujarnya. Sementara itu, Lukman Hakim Saefuddin mengatakan alasan DPR menyetujui 51 pasal yang isinya mengancam penyelenggara pemilu ini, adalah banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan penyelenggara. "Masalahnya, dari banyak pemilihan tidak sedikit yang ikut `bermain`," katanya. Pasal-pasal yang mengancam penyelenggara pemilu di antaranya yakni, pasal 264 yang isinya, setiap anggota KPU yang tidak menindaklanjuti penemuan Bawaslu atau Panwaslu dalam verifikasi partai politik diancam pidana minimal enam bulan dan maksimal 36 bulan. Selain itu, pasal 280 yakni Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara melebihi jumlah yang ditentukan, diancam pidana minimal 12 bulan dan maksimal 24 bulan.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008