Jakarta (ANTARA News) - Odang Muchtar dari Lembaga Studi Sosial Ekonomi Buruh mengatakan bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dana Cadangan Kompensasi, atau yang lebih dikenal dengan nama RPP Pesangon, akan mengubah paradigma advokasi Serikat Pekerja/Buruh di Indonesia.
"Peran Serikat Pekerja/Buruh akan bergeser atau bertambah dari `pemadam kebakaran` memperjuangkan hak buruh saat terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), menjadi lebih bersifat preventif yaitu meningkatkan kepatuhan perusahaan untuk memupuk dana cadangan pembiayaan pensiun atau pemecatan," kata Odang di Jakarta, Rabu.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bila RPP Pesangon ini diloloskan maka setiap perusahaan/pengusaha berkewajiban untuk menyisihkan minimal 3 persen upah bulanan pekerjanya ke Dana Cadangan Kompensasi PHK.
"Di sinilah Serikat Pekerja/Buruh bisa mengambil peran sebagai pemantau apakah perusahaan/pengusaha itu patuh membayarkan dana iuran persiapan pembiayaan pensiun dan PHK," katanya.
Berdasarkan hukum positif hak pekerja di Indonesia, saat seorang pekerja memasuki usia pensiun yakni masa kerja di atas 25 tahun maka dirinya berhak mendapat 52 kali upah bulanan, terdiri atas JHT Jamsostek dan kompensasi PHK.
Jumlah tersebut relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan pekerja BUMN, PNS, Polri, dan TNI.
Jumlah biaya kedua jenis perlindungan (ekonomi) saat mencapai usia pensiun itu merupakan komponen total "biaya buruh", yang berkisar 19 persen upah, terdiri atas 11 persen tanggungan dari iuran Jamsostek dan pencadangan kompensasi PHK oleh perusahaan 8 persen.
Dari segi pembiayaan, JHT Jamsostek menggunakan metode pendanaan berupa kewajiban pekerja dan perusahaan membayar iuran setiap bulan sebagai dana amanah akun perorangan JHT.
"Dengan demikian maka perusahaan sudah memenuhi kewajibannya untuk memenuhi hak pekerja, saat membayar iuran kepada badan penyelenggara," katanya.
Sebaliknya, meskipun sebagai pemilik akun perorangan JHT, hak pembayaran kepada pekerja baru timbul setelah mengalami peristiwa resiko sosial tertentu; usia lanjut/pensiun, meninggal dunia, atau cacat total.
Sementara itu metode pembiayaan berupa kompensasi PHK dengan pola "skema kewajiban" atau dapat pula disebut dengan "pay as you go", di mana perusahaan/pengusaha baru berkewajiban membayarkan hak pekerja saat terjadi PHK berupa pemecatan atau pensiun, maka pelaksanaannya tergantung kepada "cash-flow" masing-masing perusahaan, disesuaikan dengan masa kerja yang telah dilalui.
Jika perusahaan sudah "mencicil" dana pembiayaan PHK minimal 3 persen upah per bulan, ditambah lagi dengan "cash-flow" perusahaan yang baik, maka ini berarti tingkat kepastian pembayaran oleh perusahaan saat hak kompensasi PHK itu timbul semakin tinggi, dan perusahaan pun tidak perlu mengalami gejolak "cash-flow", ujar Odang menjelaskan.
"Kalau kemarin-kemarin Serikat Pekerja/Buruh selalu berperan sebagai `pemadam kebakaran` gara-gara perusahaan/pengusaha gagal-bayar kompensasi PHK, maka bila RPP Pesangon ini disahkan maka peran tadi bisa diubah menjadi pemantau dan pengawas perusahaan agar mereka menyetorkan dana cadangan sebagai langkah preventif," tambahnya.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008