Jakarta (ANTARA) - "Semua kata rindumu semakin membuatku, tak berdaya
Menahan rasa ingin jumpa aaa..."

Sepotong bait lagu "Kangen" milik band
Dewa 19 mengalun di antara riuh orang-orang yang memadati area hari bebas kendaraan bermotor atau car free day (CFD) di Jalan Jenderal Sudirman di Dukuh Atas, Jakarta.

Seakan tampil di atas panggung konser, sebuah kelompok band tunanetra percaya diri memainkan lagu milik Ahmad Dhani dan kawan-kawannya yang "meledak" pada 1992 itu.

Tak jauh dari "Kangen" menghibur warga, sayup-sayup terdengar suara Jennie, Lisa, Kim, dan Rose, yang tergabung dalam girlband Blakpink menyanyikan lagu andalan mereka, "Ddu-Du Ddu-Du"

"Blackpink!!
Aye aye
Blackpink!!
Aye aye"

Penggalan lirik lagu milik kuartet asal Korea Selatan itu semakin nyaring terdengar saat pewarta ANTARA mendekati sumber suara.

Rupanya sekelompok anak muda menjadikan lagu "Ddu-Du Ddu-Du" itu sebagai pengiring tarian mereka. Di hadapan ratusan mata pengunjung CFD yang mengerumuninya, belasan anak muda itu tampil semaksimal mungkin menari bak idola mereka.

Tanpa menggubris kerumunan penggemar K-Pop (aliran musik pop asal Korea Selatan), sekelompok kesenian Ondel-ondel melintas mengalunkan lagu "Sang Bango"-nya Benyamin Sueb dengan iringan musik gambang kromong.

Dua boneka ondel-ondel berjoged pun berjoget dengan riuh musik khas Betawi mereka yang berpadu dengan musik "ajep-ajep" dari Negeri Gingseng itu.

Seolah tak mau kalah, sekelompok pemusik angklung (kesenian musik bambu asli Jawa Barat) juga beraksi menunjukkan eksistensi.

Sebuah lagu perjuangan "Ibu Kartini" mengalun dinamis menghibur telinga pengunjung CFD yang berasal dari lintas generasi.

Begitulah suasana di "jantung" Ibukota pada akhir pekan kedua Juli 2019. Bak sebuah festival kesenian, puluhan, atau bahkan ratusan kelompok maupun perorangan, unjuk kebolehan berbagai bentuk kesenian.

Sejumlah penyandang tunanetra tampil bermain musik di area "car free day" Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (14/7/2019). (ANTARA News/Aditya Pradana Putra)

Ladang rezeki

Seperti hari Minggu-minggu biasanya, ribuan manusia "tumplek blek" di ruas Jalan MH Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.

Sejak hari bebas kendaraan bermotor atau car free day (CFD) pertama digelar pada 2002, ruas sepanjang sekitar delapan kilometer itu menjadi ruang bagi ribuan warga Jakarta dan daerah-daerah di sekitarnya dalam beraktivitas tanpa merasakan polusi kendaraan bermotor.

"Ramainya CFD di Jakarta ini menjadi ladang rezeki untuk kami," kata personel Trotoar Band asal Bojonggede, Bogor, Eko Hermawan.

Sepanjang tampil di CFD sejak pukul 06.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB, Eko bersama empat kawannya sesama penyandang tunanetra mampu meraup sekitar Rp1 juta.

"Pada hari biasa, jumlah tersebut sulit diperoleh. Padahal kami sudah tampil sepanjang hari dari pagi hingga malam," kata Eko.

Selain uang yang berlipat, faktor keamanan juga menjadi alasan kelompok band penyandang tunanetra itu memilih area CFD sebagai panggung mereka.

"Pada hari biasa kami berhadapan dengan potensi terjaring razia Dinas Sosial. Di CFD ini kami akan dari 'garukan'," kata Eko.

Sementara itu, pemusik angklung asal Slipi, Jakarta Barat, Ali Akbar mengatakan, CFD merupakan panggung potensial untuk meraih pundi Rupiah.

"Asal dengan konsep unik dan musik yang tentu enak didengarkan, pengunjung CFD dengan senang hati akan mengapresiasi kami dengan uang mereka," kata Ali yang biasa tampil bersama lima kawannya itu.

Pemusik angklung yang pada hari kerja tampil di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat itu mengaku tak lebih dari setengah hari tampil di CFD, mereka bisa mendapatkan rata-rata Rp800.000.

"Hari biasa kami bisa mendapatkan sejumlah itu, tapi kami harus tampil dari pagi hingga sore hari," kata Ali.

Senada dengan Ali, salah seorang personel kelompok seni Ondel-ondel Lukman Kencana mengatakan dengan meraup Rp1 juta bukanlah hal yang sulit saat tampil dalam CFD.

Meski harus membagi uang tersebut ke sepuluh personelnya menjadi sekitar Rp100.000 per orang, jumlah tersebut relatif besar bagi kelompoknya.

"Biasanya dalam sehari kami hanya meraup tak lebih dari Rp500.000," kata pria asal Johar Baru, Jakarta Pusat.

Bukan hanya kelompok Eko, Ali, dan Lukman, ada kelompok-kelompok kesenian lainnya yang berusaha menarik perhatian ribuan pengunjung CFD setempat, seperti kuda lumping, marawis, hingga orkes dangdut keliling.

Di sejumlah titik CFD seolah mereka akur berbagi tempat pentas.

Sejumlah warga menyaksikan kesenian tradisional debus di area "car free day" Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (14/7/2019). (ANTARA News/Aditya Pradana Putra)

Ajang eksistensi

Berbeda dengan kelompok seni yang mengadu peruntungan dalam meraih pundi Rupiah, bagi sebagian kelompok seni menjadikan panggung raksasa CFD hanya sebagai tempat menunjukkan eksistensi.

Seorang penggiat beatbox (musik dari olah suara mulut), Mulya Setyawan mengatakan banyaknya pengunjung di CFD ini menjadikan mereka mudah menyosialisasikan beatbox yang kurang familiar di masyarakat Indonesia.

"Harapannya mereka penasaran dan mencari tahu bagaimana musik ini dimainkan dengan mulut, selanjutnya makin banyak penggemarnya di Indonesia," kata pria bernama panggung Yoyskae itu.

Kalaupun ada yang memberi uang, Yoyskae bersama kelompoknya Achtology mengumpulkan dan memanfaatkannya sebagai hadiah pada kompetisi musik beatbox yang sesekali mereka adakan.

"Selain itu, terkadang kami tampil sambil menggalang dana untuk bisa mengikuti kompetisi di luar Indonesia," kata Yoyskae.

Yoyskae dan kelompok beatbox-nya tak sendiri, sejumlah kelompok lain menampilkan kesenian-kesenian, baik tradisional maupun yang kekinian, untuk menunjukkan eksistensi mereka.

Dari kelompok seni sebuah sekolah menengah atas (SMA) yang menampilkan tari saman Aceh hingga komunitas asal Papua yang menampilkan "break dance" (tarian dengan musik hip-hop asal Amerika Serikat).

Semua akur tampil di car free day Jakarta, panggung bersama beraneka ragam kesenian.

Seniman menampilkan kesenian Ondel-ondel di area "car free day" Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (14/7/2019). (ANTARA News/Aditya Pradana Putra)

Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019