Jakarta (ANTARA News) - Inkonsistensi kebijakan terhadap pengembangan iptek membuat Indonesia semakin terpuruk, khususnya pasca 1999 ketika pemerintahan terus berganti dan iptek disingkirkan. "Pada 1960-an ketika bangsa Asia belum sepenuhnya lepas dari kolonialisme, Indonesia telah melesat dengan teknologi peroketan dan mulai membangun reaktor nuklir," kata mantan Menristek Prof Dr Zuhal yang dihubungi di Jakarta, Rabu. Namun memasuki abad 21 peta kekuatan strategis di Asia berubah, teknologi roket yang sempat dikuasai anak bangsa ditinggalkan, India menyalip dan China menanjak cepat, juga negeri tetangga Malaysia, jauh melampaui Indonesia, katanya. Dari 10 industri strategis yang dibangun mantan Menristek BJ Habibie, satu demi satu berguguran. PT INKA yang telah berhasil mengekspor beberapa set kereta api ke luar negeri kini merosot kemampuannya. IPTN yang sekarang menjadi PT DI dan telah banyak mengekspor beberapa jenis pesawat atau berbagai komponen pesawat ke perusahaan industri pesawat di negara maju terpuruk, tenaga ahlinya hijrah ke luar dan terpakai di perusahaan raksasa di AS dan Eropa. Begitu pula dengan tenaga trampil PT LEN Industri (produsen alat elektronika), PT Pindad (industri persenjataan), dan PT Inti (telekomunikasi) yang seolah sengaja disisihkan. "Mungkin hanya PT PAL saja yang memproduksi kapal-kapal laut bertaraf internasional yang masih bertahan. Itupun pemerintah lebih percaya dan senang mengimpor cargo dari luar, padahal Jerman saja memesan cargo dari kita," katanya. Jadi, ujarnya, yang terjadi di Indonesia adalah keterpurukan dalam pengembangan Iptek, di mana setiap perubahan rezim kebijakan teknologi juga berubah yang titik kemundurannya terjadi mulai krisis ekonomi 1997 yang terus menerpa hingga kini. Menurut dia, perlu ada pembenahan internal, jika sebuah negara ingin memiliki daya saing industri, yaitu dukungan terhadap iptek. Ia mencontohkan, di Jepang yang perusahaannya tak perlu membayar pajak untuk 'capital expenditure' dan 'capital goods', sementara di Indonesia industri strategis harus membayar minimal 10 persen pajak pertambahan nilai (PPn), padahal 'high cost' mereka sangat besar. Contoh lain adalah subsidi, di mana industri di Jepang, Korea, China, Singapura mendapat subsidi dari pemerintah, sementara di Indonesia tak ada subsidi, padahal industri strategis selalu diawali pembiayaan besar lebih dulu sebelum meraih sukses dalam jangka panjang, ujarnya. Kalau tak ada dukungan pemerintah, iptek Indonesia jalan di tempat dan industri dalam negeri juga tak maju-maju, tambah profesor yang baru saja meluncurkan buku berjudul Kekuatan Daya Saing Indonesia. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008