Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar menilai positif kinerja Direktur Jenderal minyak dan gas bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM yang diberhentikan, Djoko Siswanto.
Pemberhentian ini diumumkan berdasar Keputusan Presiden RI Nomor 45 TPA tahun 2019 tentang penghentian jabatan di lingkungan ESDM.
Meski neraca perdagangan di sektor migas defisit sekitar Rp29,9 triliun (2,14 miliar dolar AS) pada semester pertama (Januari-Mei 2019) menurut Badan Pusat Statistik, Wamen ESDM menilai kebijakan yang dibuat di masa kepemimpinan Djoko lebih baik dari tahun sebelumnya.
"Tahun 2018, sebesar 2,86 miliar dolar AS (sekitar Rp40 triliun). Berarti semester ini, sektor migas berkurang (defisitnya). Tahun 2019 lebih baik dari tahun 2018," ujar Arcandra dalam pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan pejabat struktural di Kementerian ESDM Jakarta, Jumat.
Soal pengurangan defisit itu dipengaruhi dua kebijakan di sektor migas yaitu kebijakan bahan bakar biodiesel campuran 20 persen (B20) dan kebijakan pembelian minyak bagian kontraktor yang selama ini diekspor (entitlement) oleh Pertamina.
"Total angka serapan B20 itu sekitar 6 juta kiloliter untuk setahun atau sekitar 3 juta kiloliter per semester dihitung dari awal tahun," kata Arcandra. Kesuksesan B20 membuat pemerintah berniat menguji coba kebijakan B30.
Sementara, penyumbang penurunan defisit kedua menurut dia yakni entitlement juga positif. "Pertamina membeli 135 ribu barel per hari dari sekitar 200 ribu barel entitlement yang tersedia. Sisanya belum. Tapi itu penyumbang untuk mengurangi defisit," ujar Arcandra.
Mengenai surplus ekspor non migas yang dianggap menyebabkan defisit neraca perdagangan, Arcandra menilai disebabkan peningkatan kebutuhan migas di dalam negeri akibat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Minyak dalam negeri dari sektor migas itu 775 ribu, yang minyak itu sekitar 80-100 ribu, tapi dengan pertumbuhan ekonomi lima persen, kebutuhan kita meningkat," ujarnya.
Ekspor migas yang sudah tidak dominan lagi, membuat migas dialihkan ke industri lain untuk diolah. Akibatnya ekspor migas defisit, tapi kontribusi migas ikut menyumbang surplus dari sektor non migas.
Ia mencontohkan dari sisi gas bumi yang bukan lagi diekspor mentah dalam bentuk gas alam cair (Liquefied Natural Gas/ LNG).
"Dulu gas itu hanya LNG. Sekarang berubah jadi sarung tangan, berubah jadi kaca, berubah jadi plastik, polyethylene (Pe) dan polypropylene (Pp). Itu kalau diekspor, tercatat sebagai ekspor non migas," ujar Arcandra.
Baca juga: Dirjen Migas jelaskan strategi atasi defisit migas
Baca juga: Dirjen Migas bilang harga avtur tinggi karena Indonesia luas
Baca juga: Dirjen Migas kaji aturan investasi "deep water"
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019