Jakarta (ANTARA) - Bukan Tugu Monumen Nasional (Monas), bukan pula boneka ondel-ondel.
Sejak Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 1796 Tahun 1989, elang bondol (Haliastur indus) dan salak condet (Salacca zalacca) menjadi maskot Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta.
Kini, maskot elang bondol yang mencengkram buah salak condet banyak bertebaran di banyak sudut ibu kota. Di sejumlah gapura gerbang masuk, patung kedua maskot itu menyambut tamu yang memasuki Jakarta.
Meski gambar maupun patungnya mudah ditemukan, salah satu maskot ibu kota, salak condet, merupakan buah lokal yang keberadaannya makin langka di daerah asalnya sendiri.
Berada di tengah perkampungan padat penduduk di Kelurahan Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur, Kebun Cagar Buah Condet (KCBC) menjadi satu dari sedikit lahan tersisa di Jakarta yang masih ditumbuhi subur tanaman salak condet, sang maskot Jakarta.
Sejak 2007 Pemprov DKI Jakarta menjadikan Kebun Cagar Buah Condet sebagai lahan konservasi buah berkulit sisik warna coklat kehitaman itu.
"Tak hanya konservasi, pemerintah juga menjadikannya sebagai sarana edukasi sekaligus rekreasi untuk masyarakat, khususnya agrowisata salak condet yang keberadaan tanamannya semakin langka di daerah asalnya, Jakarta," kata Kepala Seksi Pengendalian Mutu dan Agribisnis Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (DKPKP) DKI Jakarta, Iwan Indriyanto.
Proses pendirian kebun konservasi buah ini berlangsung dari 2005 hingga 2007 melalui pembebasan lahan salak condet milik warga yang tersisa di kawasan itu secara bertahap.
Kini kebun ini memiliki luas 3,7 hektare dengan sekitar 3.000 tanaman salak condet produktif yang tumbuh di dalamnya. Dalam waktu dekat luasnya akan bertambah sekitar 1.200 meter persegi karena ada beberapa lahan miliki warga sekitar kebun yang akan dibebaskan.
Menurut Iwan, kebun dengan tanaman salak condet di Jakarta saat ini hanya tersisa di Kelurahan Balekambang ini.
Baca juga: Anies panen duku dan salak Condet
Baca juga: Maskot Jakarta yang mulai terlupakan
Kejayaan masa lampau
Seorang warga setempat yang bekerja sebagai petugas Kebun Cagar Buah Condet, Asnawi bercerita, dahulu lahan kebun salak condet di Balekambang sangat luas. Bukan hanya di Balekambang saja, salak condet juga tumbuh di tiga kelurahan lain, seperti Batuampar, Gedong dan Tengah.
Hingga 1980-an tanaman salak condet masih mendominasi tumbuh di kebun-kebun milik warga di empat kelurahan yang juga dikenal sebagai kawasan Condet ini. Bahkan halaman rumah pun juga ditanami salak condet oleh warga.
Soal rasa, salak condet memiliki keunikan memiliki tiga varian sekaligus; manis, asam dan sepet. Namun, rasa sepet-nya tidak dominan.
"Rasa seperti ini yang membedakan dengan jenis-jenis salak dari daerah lain di Indonesia," kata bekas pemilik kebun salak yang diambil alih pemerintah sebagai lahan konservasi itu.
Bahkan, klaim Asnawi, karena rasanya yang unik ini, dahulu Presiden Pertama Republik Indonesia (RI) Soekarno sering menjadikan salak condet sebagai salah satu sajian buah di Istana Negara.
"Buah istimewa untuk orang yang agung," kata Asnawi.
Selain itu, salak Condet juga memiliki keistimewaan pada umur produktif yang panjang. Hingga berumur 70 tahun, salak condet masih bisa terus berbuah tanpa kenal musim.
"Hingga akhir 1980-an setiap masa panen raya, jalan raya dan jalanan kampung riuh dengan aktivitas panen dan jual beli salak condet," kata pria Betawi ini.
Masa 1990-an menjadi awal dari perubahan nasib tanaman keluarga palem-paleman (Arecaceae) itu. Arus urbanisasi ke Jakarta mendorong alih fungsi lahan tempat salak condet tumbuh menjadi kawasan permukiman penduduk.
"Di tambah lagi, orang Betawi penghuni asli sini punya kebiasaan mundurin patok (jual tanah) saat mereka akan pergi naik haji atau mengadakan hajatan, seperti pernikahan," kata pria 56 tahun itu.
Dengan menjual tanah, menurut Asnawi, para penduduk asli setempat mendapatkan uang untuk mengadakan pesta hajatan mereka.
Pohon salak dibabat, dinding-dinding rumah dibangun. Kini hijaunya kawasan itu dengan banyaknya tanaman salak telah berganti dengan padatnya rumah-rumah penduduk.
Selain kebun yang dikelola pemprov ini, sebenarnya masih ada lahan kebun salak condet lainnya di Balekambang. Ada dua kebun pribadi milik warga di Balekambang ini yang masih ditumbuhi salak condet, tetapi luasnya hanya sekitar seribu meter persegi.
Baca juga: Salak condet yang manis renyah tinggal kenangan
Baca juga: Alasan salak Condet sulit dicari
Kebun Konservasi
Pengelola Kebun Cagar Buah Condet, Supriyadi mengatakan, saat ini kebun yang dia kelola lebih memfokuskan diri pada konservasi saja, bukan untuk produksi massal yang dipasok ke pasaran.
"Panen salak di kebun ini juga belum stabil, hanya bisa memenuhi untuk kebutuhan wisatawan yang berkunjung ke tempat ini," kata dia.
Untuk berwisata ke Kebun Cagar Buah Condet ini tidak sulit. Pengunjung bisa secara gratis mengunjungi lokasi ini secara langsung hari kapan pun, asal di jam kerja.
Bahkan, pengunjung akan mendapatkan dua bibit salak condet secara gratis dengan membawa fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
Kalau ingin lebih dari dua bibit, pengunjung bisa mengajukan surat permohonan ke Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman di Ragunan, Jakarta Selatan.
"Itu pun masih bersyarat harus ditanam di Jakarta. Kalau ingin menanam di luar Jakarta harus mengajukan izin ke Kementerian Pertanian," kata Supriyadi.
Menurut dia, pembatasan seperti itu dilakukan sebagai upaya untuk mengkonservasi tanaman salak condet sebagai tanaman lokal langka di Jakarta.
Bagi Supriyadi bersama tujuh petugas lainnya di Kebun Cagar Buah Condet, mengupayakan agar salak condet terus tumbuh di tanah asalnya merupakan tanggung jawab yang berpacu dengan pesatnya alih fungsi lahan hijau di Jakarta.
Dalam pertanian tidak ada istilah krisis. Persoalannya hanya tergantung mau berusaha keras atau tidak. "Kami tak akan pernah menyerah," tegas Supriyadi sembari menyirami tunas-tunas salak yang mulai tumbuh.
Semua daya dan upaya itu untuk satu tujuan, yaitu agar salak condet jangan sampai punah.
Baca juga: Budidaya salak Condet terganjal lahan
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019