Markas Besar PBB, New York (ANTARA News) - Indonesia menganggap Dewan Keamanan (DK) PBB belum mencatat dengan baik laporan yang disusun Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang mengakui adanya kemajuan penting kerjasama Iran dengan IAEA. Indonesia juga menyatakan masih belum yakin bahwa penerapan sanksi tambahan bagi Iran akan memberikan manfaat. Demikian di antara dua alasan yang menjadi dasar keputusan Indonesia untuk tidak mendukung sanksi terhadap Iran, dengan menyatakan 'abstain', saat pemungutan suara terhadap Resolusi DK PBB Nomor 1803 di Markas Besar PBB, New York, Senin. "Pada dasarnya, kami tidak yakin apakah dengan tambahan sanksi, betapapun kecil penambahannya, betapapun terarahnya dan sekalipun dapat ditarik kembali, akan membantu memecahkan permasalahan program nuklir Iran, ataukah sebaliknya malah berpotensi memberikan dampak negatif ketika sejumlah kemajuan tengah dicapai," kata Wakil Tetap RI untuk PBB, Marty Natalegawa. Indonesia adalah satu-satunya negara di antara 15 anggota Dewan Keamanan yang menyatakan tidak mendukung resolusi soal sanksi tambahan bagi Iran. Saat berbicara dalam sidang Dewan Keamanan sebelum dilakukannya pemungutan suara, juru runding Indonesia itu mengatakan Indonesia ingin memastikan adanya sinergi dan saling mengisi antara laporan IAEA dengan isi dan semangat resolusi itu. "Kita perlu mencatat dengan baik sifat laporan yang disusun dengan sangat hati-hati, yang mengaku kemajuan penting dalam kerjasama Iran dengan IAEA dan juga mengakui adanya fakta bahwa Iran belum mematuhi beberapa tuntutan resolusi DK-PBB," kata Marty. Dalam sidang yang dipimpin oleh Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin itu, Dubes Marty juga mempertanyakan sanksi tambahan DK-PBB apakah hal itu merupakan pendekatan yang paling bijaksana dalam menumbuhkan kepercayaan antara Iran dan Dewan Keamanan --isu yang dilihat Indonesia justru sebagai inti permasalahan. Sementara itu, ketika ditemui ANTARA, Dubes Marty menekankan lagi fakta bahwa laporan IAEA pada 22 Februari 2008 lalu mencerminkan situasi yang beragam. "Ada positif, ada negatif. Kita inginkan resolusi itu juga mencerminkan demikian, bukan justru secara sepihak menyorot negatifnya saja dan kemudian menambah sanksinya," ujarnya. Menjawab pertanyaan mengapa posisi Indonesia yang tidak mendukung Resolusi 1803 tidak dinyatakan secara lebih tegas, yaitu memilih `menolak` daripada `abstain`, Marty mengatakan hal itu dikarenakan Resolusi 1803 juga memuat unsur-unsur yang merujuk kepada resolusi sebelumnya, termasuk Resolusi 1747, yang tahun lalu, yang pengesahannya didukung Indonesia. "Jangan disalahtafsirkan bahwa abstain itu adalah sikap yang tidak jelas. Ya justru kita sudah tidak mendukung, dan Indonesia adalah satu-satunya yang tidak mendukung," katanya menegaskan. Selain Indonesia, sebelumnya tiga negara lainnya, yaitu Libya, Afrika Selatan dan Vietnam, hingga akhir pekan lalu mengindikasikan tidak akan mendukung resolusi soal penambahan sanksi kepada Iran. Namun, pada pemungutan suara hari Senin, ketiga negara tersebut berubah haluan dengan menggabungkan diri dengan 11 negara lainnya yang memilih setuju untuk mengesahkan Resolusi 1803. Indonesia menginginkan agar penyelesaian soal nuklir Iran dan masalah serupa harus mengacu kepada perlindungan integritas pengaturan multilateral, khususnya Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dengan tiga pilar utamanya, yaitu non-proliferasi, penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai serta perlucutan senjata nuklir. Karena itu, ujarnya, Indonesia ajukan gagasan yang dipromosikan oleh Pak Menlu (Hassan Wirajuda) untuk membahas akar utama permasalahannya. "Intinya, bagaimana negara seperti Iran dan para penandatangan NPT bisa memperoleh jaminan pemasokan bahan nuklir untuk keperluan damai," kata Marty. (*)

Copyright © ANTARA 2008